Rebutan Pasar Layanan STREAMING

Fathurrozak
21/10/2020 00:20
Rebutan Pasar Layanan STREAMING
Layanan STREAMING(123RF)

"ENAK bisa nonton bola," ujar Dicky Setiawan ketika ditanya alasannya berlangganan salah satu layanan streaming yang menyajikan tayangan olahraga. Pria yang menggandrungi Tottenham Hotspurs itu menyisihkan pendapatannya sebagai desain grafis untuk berlangganan layanan tersebut guna memenuhi hobinya menonton bola.

Layanan streaming video kini semakin diterima dengan baik di pasar Indonesia. Laporan Asosiasi Industri Video Asia (AVIA) mengungkapkan, setidaknya dalam periode Agustus tahun lalu hingga April tahun ini, terjadi penurunan jangkauan situs ilegal sebanyak 62,5%. Sementara itu, adanya peningkatan jangkauan ke situs video legal, sebanyak 33%.

Meski ada juga layanan streaming, seperti Hooq yang tutup sehingga mengakibatkan kerugian material bagi beberapa rumah produksi dan produser, pasar Indonesia masih jadi tujuan ekspansi layanan streaming. Terbaru, masuk Disney+ Hotstar.

Manajer Senior Akuisisi Konten Disney Alexander Siregar menyebutkan Indonesia sebagai salah satu pasar seksi dengan peluang besar. "Kami juga melihat Indonesia sebagai pasar yang punya sensitivitas harga. Sebab itu, kami bermitra dengan salah satu jaringan telekomunikasi dan menyediakan kemudahan pembayaran dalam berlangganan," katanya pada Senin (12/10).

Persaingan harga tentunya muncul untuk memenangkan siapa terbanyak menggaet pelanggan. Namun, Perwakilan Mola TV Mirwan Suwarso menyebutkan, meski tampaknya Indonesia merupakan pasar yang besar, kalau dikerucutkan pada pasar pelanggan TV berbayar maupun pelanggan layanan streaming berbasis ponsel (mobile first market), masih sangat kecil bila dibandingkan dengan besarnya kue persentase pasar yang mengakses tayangan gratis (free to air).

"Industri hiburan di Indonesia dilihat dari luar kesannya menggiurkan. Namun, pasar terbesar masih ada di free to air. Ada sekitar 50 juta rumah yang masih free to air, sedangkan yang menggunakan TV berbayar paling dua juta," kata Mirwan pada Media Indonesia dalam wawancara konferensi video, Rabu (7/10).

Meski tampaknya persaingan harga menjadi semakin ketat di antara para penyedia layanan streaming, Mirwan menyebut justru yang menjadi persaingan bukanlah harga berlangganan, melainkan persaingannya berdasarkan konten yang ditawarkan. "Karena pasar OTT (over the top) harganya pun masih sangat murah di sini," sambungnya.

OTT yang dimaksud ialah layanan dengan konten berupa data, informasi, atau multimedia yang berjalan melalui jaringan internet.

Senada dengan Mirwan, sutradara Andibachtiar Yusuf juga mengamini adanya perbedaan harga ini. Namun, itu dianggapnya wajar dalam ekosistem bisnis. Apakah dengan beragamnya harga langganan tersebut berdampak pada daya beli konten, hal itu menurutnya, juga tidak bisa dilihat dengan satu dimensi.

"Saya enggak ngerti bagaimana mereka muterin duitnya. Kalau ke kami (kreator), sejauh ini ya dampaknya belum ada terkait dengan perang harga itu. OTT itu masih agak-agak 'hutan' baru buat kami. Bahkan, saat berdiskusi dengan produser yang memang sudah punya nama besar pun, dia masih belum paham maunya OTT yang seperti apa dengan konten yang dibuat," katanya saat dihubungi Media Indonesia melalui sambungan telepon, Minggu (11/10).

Sutradara yang akrab disapa Ucup itu memberi gambaran kasar terkait daya beli layanan streaming terhadap konten di Indonesia. Misalnya, ia memberi contoh ada film yang rilis eksklusif di salah satu layanan streaming dibanderol dengan total biaya produksi. Ucup memberi rentang kasaran untuk produksi suatu film paling minim ialah berbujet Rp2 miliar, dan lazimnya berada di atas angka tersebut. Sementara itu, OTT juga punya rentang bujet berbeda dalam memproduksi konten orisinal. Rentang bujet produksinya bisa berkisar antara Rp500 juta-Rp800 juta, malah ada yang menawarkan di bawah angka tersebut.

Rentang bujet yang juga cukup variatif ini, tentu akan berimbas pada hasil dan proses kerja produksi oleh sineas dan para kru. Dengan bujet sesuai, tentu produser dan sineas akan membuat konten maksimal. Lain hal jika bujet yang disediakan sangat minim sehingga semakin berimbas pada kerja ekstra produksinya.

Dalam kesempatan diskusi panel bersama Akatara, Aprofi, dan Motion Picture Association (MPA) Asia Pacifik, aktris Marissa Anita sebagai moderator, sempat mengajukan pertanyaan bagaimana sistem yang dibangun layanan streaming internasional dalam menggaet para kreator lokal secara beragam, bukan hanya berdasar nama besar yang sudah dikenal. Menurutnya, tidak semua memiliki akses sama. Ia menganalogikan layaknya 'talent show' sehingga ada banyak talenta di luar sana yang mungkin saja belum terjamah industri.

"Kuncinya tentu membangun hubungan. Di Indonesia, kami bekerja sama dengan sejumlah rumah produksi besar. Menemukan produser untuk bekerja sama dengan kami tentu menjadi perjalanan yang tidak bisa dicapai dalam waktu singkat," tanggap Manajemen Produksi dan Direktur Netflix APAC dan India Norman Lockhart.

Dalam kesempatan berbeda, Ucup menilai saat ini semakin banyaknya layanan streaming menjadikan semuanya sama memiliki peluang. Baik rumah produksi besar maupun kecil, produser kenamaan, maupun mereka yang baru merintis jalan.

"Titik mulainya saja yang berbeda, garis larinya antara yang kecil dan besar jelas berbeda. Jadinya secara perusahaan berbeda, tetapi secara tenaga kerja sama," kata sutradara yang menggarap series orisinal Star Stealer layanan streaming Viu ini.

Butuh SDM

Sementara itu, produser Shanty Harmayn mengutarakan potensi yang dimiliki Indonesia saat ini banyak. Namun, yang menjadi tantangan ialah dalam menyediakan konten berkualitas. "Bagi kami, sebagai produser ialah bagaimana akselerasi kapasitas. Peningkatan sumber daya. Itu yang menjadi tantangan terbesar. Di samping konsistensi dalam memproduksi cerita bagus," katanya dalam diskusi panel virtual bersama Akatara, Aprofi, dan Motion Picture Association (MPA) Asia Pasicik bertajuk Maximum Exposure: Rebooting Screen Production, Increasing Capacity, and Growing the Streaming Sector in Indonesia, Senin, (12/10).

Hal ini juga dilihat Sekretaris Jenderal Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) Linda Gozali, sebagai salah satu efek yang mengekor. Dengan semakin banyaknya layanan streaming video yang beroperasi di Indonesia, artinya juga bakal menambah permintaan sumber daya pekerja.

Sebab itu, dia juga berharap ke depannya beberapa layanan streaming internasional mau membuka kemungkinan semacam institusi pendidikan untuk ikut mengembangkan kapasitas kreator konten di Indonesia. Di samping peran pemerintah yang seharusnya juga ikut mengembangkan institusi pendidikan formal. Ia pun menggarisbawahi, adanya kolaborasi internasional dengan kreator lokal, bisa menjadi salah satu peluang percepatan akselerasi kapasitas.

"Dengan kerja sama kolaboratif, akan jadi bentuk edukasi 'sekolah' di lapangan. Menjadi wahana transfer pengetahuan. Itu mungkin juga menjadi sesuatu yang banyak orang jadikan sebagai salah satu capaian target," katanya. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya