Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Tanah Papua di Ambang Titik Balik

Emir Chairullah
17/10/2020 06:55
Tanah Papua di Ambang Titik Balik
(Dok.MI/ILUSTRASI: DUTA)

NASIB Tanah Papua tidak seindah kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Ironis memang, sumber daya alam begitu melimpah, tetapi kesejahteraan masyarakat Papua nyaris stagnan.

Rantai kekerasan dan konflik antara militer dengan anggota kelompok separatis yang disebut pemerintah sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) turut mengganjal.

Tanah Papua yang dahulu bernama Irian Jaya dan kini terbagi menjadi dua provinsi, yakni Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, selalu berada di nomor buncit dalam berbagai indikator pembangunan di wilayah Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2019 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua merupakan yang terendah, hanya 60,84 poin. Disusul oleh IPM Provinsi Papua Barat dengan 64,70 poin. IPM keduanya cukup jauh di bawah IPM nasional yang mencapai 71,92 poin.

Papua dan Papua Barat juga langganan tercatat sebagai provinsi termiskin. Per Maret 2020, angka kemiskinan di Papua sebesar 26,64%, sedangkan di Papua Barat tercatat 21,37%. Bandingkan dengan angka kemiskinan secara nasional yang di bawah dua digit atau 9,78%.

Padahal, sejak 2001, Bumi Cendrawasih telah mendapatkan sekitar Rp90 triliun alokasi dana otonomi khusus (otsus). Penggelontoran dana jumbo tersebut nyatanya belum mampu mengubah nasib Papua.

Tahun depan, berdasarkan Undang-Undang (UU) No 21/2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua, pendanaan otsus sebesar 2% dari dana alokasi umum (DAU) itu akan berakhir.

Meski begitu, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Benny Irwan mengatakan belum ada perubahan kebijakan dana otsus. "Dengan kata lain tetap akan dilanjutkan," ujarnya.

Pemerintah, menurut Benny, masih membahas secara intens rencana penyusunan revisi aturan dan regulasi terkait. Pembahasan diharapkan rampung bulan ini dan selanjutnya dibahas bersama dengan DPR RI.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Na Endi Jaweng mengatakan pemberian dana otsus Papua harus dievaluasi untuk perbaikan manakala pemerintah pusat akan kembali melanjutkan skema ini setelah 2021.

Akuntabilitas dana otsus yang selama ini nihil semestinya menjadi catatan besar. "Selama 19 tahun pemerintah pusat menggelontorkan dana otsus triliunan rupiah untuk Papua, dampaknya tidak signifikan dalam membangun dan menyejahterakan rakyatnya. Pasalnya, uang itu hanya berputar di kalangan elite, elite masyarakat dan pihak tertentu," papar Endi.

Menurut dia, tata kelola pemberian dana otsus selanjutnya harus benar-benar bersandar pada akuntabilitas. Pemerintah bisa saja menyamakan syarat akuntabilitas dengan dana transfer daerah lain yakni, "Pemda mesti mengajukan perencanaan berikut melaporkannya secara transparan. Bila kurang terserap, nantinya dikenai sanksi berupa pemotongan," ujar Endi.

 

Pola tidak berubah

Anggota Komisi I DPR RI asal daerah pemilihan Papua Yan Mandenas meminta pelibatan elite lokal dan masyarakat Papua secara umum dalam menentukan kebijakan kelanjutan dana otsus. Ia juga mengkritik rencana pemekaran Tanah Papua menjadi lima provinsi.

Yan menyebut pola pendekatan pemerintah pusat ke Papua belum banyak mengalami perubahan, yaitu sangat top down. Padahal, masyarakat dan elite setempat akan setuju dengan kebijakan yang diusulkan pemerintah selama didialogkan terlebih dulu.

"Masyarakat dan elite di Papua pasti mau ikutlah selama kebijakannya bermanfaat untuk kesejahteraan masyarakat," jelasnya.

Yan menyarankan pemerintah segera mendekati tokoh masyarakat dan pemerintah lokal, baik provinsi maupun kabupaten/kota, untuk mendiskusikan terlebih dahulu mengenai apa yang terbaik untuk Papua ke depan.

"Ajak masyarakat dialog dan jangan langsung klaim yang pada akhirnya membuat kebijakan tidak efektif," pungkasnya.

Dalam rencana revisi UU Otsus Papua, pemerintah menggandeng kaukus For Papua yang diinisiasi MPR RI. Kaukus itu berisikan para anggota DPR dan DPD yang berasal dari wilayah Papua. Mereka diharapkan mampu menjembatani kepentingan dan aspirasi antara pemerintah pusat dan masyarakat setempat.

Seiring dengan evaluasi penerapan kebijakan otonomi khusus Papua, pemerintah melanjutkan langkah percepatan pembangunan kesejahteraan di Tanah Papua. Presiden Joko Widodo menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2020 yang memperbarui Inpres No 9 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yang telah berakhir pada 2019.

'Memerintahkan (seluruh kementerian dan lembaga) mengambil langkah-langkah dalam melakukan pengawalan yang bersifat terobosan, terpadu, tepat, fokus, dan sinergi sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing secara terkoordinasi dan terintegrasi untuk mempercepat pembangunan kesejahteraan dan di Provinsi Papua dan Papua Barat,' demikian antara lain instruksi Presiden Jokowi dalam Inpres 9/2020.

Kedua inpres menunjukkan bahwa target kerja percepatan pembangunan kesejahteraan di Bumi Cendrawasih tidak bisa tercapai hanya dalam jangka waktu dua tahun. Inpres dengan isi yang sama itu pun dapat mengindikasikan penggunaan cara-cara yang masih sama.

Meski begitu, ada harapan kali ini dengan segala kebijakan yang diupayakan, nasib Papua akan berbalik terangkat. Harapan itu didukung dengan IPM Papua Barat yang mencatatkan laju kenaikan tertinggi nasional pada 2019 kendati besarannya di posisi kedua paling buncit. (Cah/Ind/P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya