Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
MIMPI besar Indonesia untuk menempatkan salah satu anak bangsa sebagai pembalap di Formula 1 (F1) menjadi kenyataan pada 2016. Melalui Rio Haryanto, Merah Putih akhirnya bisa menjadi bagian dari balapan jet darat tersebut.
Di musim balap 2016, Rio tampil membela tim Manor. Namun, Rio tidak tampil penuh selama satu musim. Ia hanya tampil di 12 seri dari 21 seri balapan yang digelar tahun itu. Hasil terbaik didapat di GP Monaco dengan finis di posisi 15.
Tidak tampilnya Rio selama satu musim balap disebabkan tidak cukupnya anggaran yang dimiliki sang pembalap. Untuk tampil penuh dalam 21 seri, Rio harus menyediakan 15 juta euro yang diminta Manor.
Rio harus menyediakan dana sebesar itu karena statusnya ialah pembalap pay driver. Pembalap dengan status pay driver ialah mereka yang membawa dana atau sponsor sendiri untuk mendapatkan kursi di suatu tim.
Kepada Manor, Rio hanya mampu menyetor delapan juta euro. Sisa tujuh juta euro sesuai kesepakatan kontrak tidak mampu dipenuhi hingga tenggat. Itu yang membuat Rio hanya bisa tampil di 12 seri.
Apa yang dialami Rio membuat F1 terlihat 'kejam'. Mereka (tim) yang butuh pembalap, tapi mematok harga selangit bagi pembalap yang mereka butuhkan.
Namun, jika melihat anggaran yang dibutuhkan sebuah tim F1 untuk satu musim balap, hal itu menjadi wajar. Untuk membangun sebuah mobil F1 saja, sebuah tim sedikitnya harus mengeluarkan dana hingga US$2 juta atau sekitar Rp28 miliar. Jumlah tersebut belum termasuk biaya untuk komponen lainnya yang bisa mencapai jutaan dolar.
Sementara itu, untuk biaya pemeliharaan tahunan, bisa mencapai US$350 juta atau sekitar Rp5 triliun. Besarnya anggaran yang dibutuhkan untuk sebuah tim tersebut membuat F1 bisa dikatakan sebagai olahraga paling mahal di dunia.
Walau demikian, hal itu tidak mengurangi minat pembalap untuk bisa tampil di kasta tertinggi ajang balap otomotif di dunia itu. Jika memiliki skill mumpuni serta nasib baik, seorang pembalap pay driver seperti Rio bukan tidak mungkin menjadi bintang F1. Michael Schumacher (juara dunia 7 kali) serta Niki Lauda (juara dunia 3 kali) merupakan contoh pembalap pay driver yang menuai sukses di F1.
Apa yang telah dialami Rio, yang kini berkiprah di ajang Asian Le Mans Series dan Blancpain GT World Asia Challenge, menunjukkan tidak gampang untuk bisa menembus F1. Seperti diakui Rio, bukan hal mudah untuk bisa mendapatkan sponsor yang mau mengeluarkan puluhan juta dolar untuk membiayai seorang pembalap F1. Namun, anggaran sebesar itu akan 'terbayar' jika si pembalap bisa menuai sukses seperti yang terjadi pada Schumacher dan Niki Lauda.
Kegagalan Rio bersinar di F1, dengan segala penyebabnya,
janganlah membuat impian kita untuk melihat pembalap Indonesia tampil di F1 pupus. Dukungan penuh dari pemerintah dan swasta sangat dibutuhkan para pembalap bertalenta untuk bisa menembus ketatnya persaingan F1. Bukan tidak mungkin, penerus Rio Haryanto di masa mendatang bisa mengibarkan Merah Putih dan lagu Indonesia Raya berkumandang di podium tertinggi F1. (Wdo/R-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved