Headline

Ketegangan antara bupati dan rakyat jangan berlarut-larut.

Reduksi Jam Kerja tidak Populer di Jepang

Andhika Prasetyo
10/3/2017 11:25
Reduksi Jam Kerja tidak Populer di Jepang
(MI/Duta)

PEMERINTAH Jepang ingin mengeluarkan kebijakan baru untuk mendongkrak tingkat konsumsi masyarakat. Untuk itu, pemerintah Negeri Sakura itu mengusulkan agar dibuat undang-undang (UU) yang mengatur terkait pembatasan waktu lembur para pekerja.

Usulan itu muncul, lantaran dari sebuah penelitian, menemukan bahwa sebanyak 12% dari seluruh perusahaan di Jepang mempekerjakan karyawan mereka lebih dari 100 jam sebulan dan 23% lainnya menerapkan jam kerja 80 jam sebulan.

Dari peraturan yang akan dibuat, ke depan pemerintah ingin memangkas waktu kerja tidak melebihi antara 45 hingga 60 jam setiap bulannya Dengan waktu kerja yang semakin pendek, pemerintah di sana yakin, akan semakin banyak pekerja yang mengisi tambahan waktu luang mereka untuk berbelanja.

Namun, sayangnya, usulan tersebut malah mengundang kecaman sejumlah pihak. Pasalnya, budaya Jepang memang unik. Rakyatnya terkenal dengan etos gila bekerja. Pemangkasan waktu kerja dianggap mereka jelas sebagai penentangan budaya.

Di sisi lain, para pelaku ekonomi juga skeptis dengan kebijakan itu bisa mendongkrak sisi konsumsi publik di sana. Kepala Ekuitas Jepang di Aberdeen Asset Management Kwok Chern-Yeh mengatakan, jika diterapkan, kebijakan tersebut tidak akan berdampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi.

Kwok menyebutkan, kalaupun memiliki waktu libur lebih banyak, masyarakat Jepang tidak akan mengisi itu untuk berbelanja. "Pengeluaran mereka tidak akan bertambah. Sebaliknya, di tengah daya beli yang terkikis karena nilai tukar yen lemah saat ini, belanja pekerja akan berkurang," ujar Kwok.

Hal serupa diungkapkan penelitian yang dilakukan Deutsche Bank. Hasil studi mereka menyatakan, pengurangan jam kerja akan menurunkan pendapatan belanja rumah tangga. "Waktu libur yang lebih banyak tidak akan memacu pertumbuhan konsumsi," ujar Deutsche Bank dalam laporan mereka.

Salah satu perusahaan pemimpin di sektor penyedia jasa keuangan dunia itu pun menurunkan ramalan pertumbuhan ekonomi mereka untuk 'Negeri Sakura', dari 1,1% menjadi 1% di 2017.

Sambutan negatif yang dikemukakan beberapa pihak tidak terlepas dari pengalaman yang dialami negara tetangga Jepang, Korea Selatan. Pada 2002, 'Negeri Ginseng' itu mulai menerapkan kebijakan lima hari kerja dari yang sebelumnya enam hari dalam seminggu.

Kemudian muncul penelitian pada 2012 yang dilakukan Sooyoung Sul dan MoonJoong Tcha. Mereka mengungkapkan, berdasarkan data yang dikumpulkan dari 1985 hingga 2007, kebijakan pengurangan hari kerja tidak memacu pertumbuhan konsumsi secara signifikan di negara tersebut. (E-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya