Budi Daya Cermin Kolaborasi RI-Taiwan

10/12/2016 04:15
Budi Daya Cermin Kolaborasi RI-Taiwan
(Ist)

NGENGAT menetaskan telur-telur yang akhirnya menjadi ulat.

Namun, tidak semuanya beruntung dan tumbuh sempurna.

Sebagian dari mereka ada yang mati ketika menjalani fase awal metamorfosis, baik karena menjadi pemenuh rantai makanan hewan lainnya maupun harus menyerah karena terinfeksi spora cordyceps.

Mereka yang mati terpapar spora cordyceps akan tumbuh menjadi cordyceps, dikenal sebagai jamur khas Pegunungan Himalaya dan Dataran Tinggi Tibet.

Hingga akhirnya, mereka akan berakhir di pasar dan menjadi konsumsi manusia karena dipercaya berkhasiat bagi kesehatan.

Kabar manjurnya cordyceps pun tersebar ke seluruh belahan bumi, termasuk Indonesia.

Namun, karena kondisi alam yang berbeda dengan wilayah Asia Timur dan Selatan yang menjadi rumah spesies tersebut, Indonesia tidak bisa menjadi tempat bagi cordyceps.

"Kami akhirnya melakukan budi daya. Bedanya, kami menggunakan medium beras, bukan ulat ngengat," ujar Frisca, Public Relation Mucho Cordyceps, pelaku budi daya cordyceps, khususnya untuk jenis militarsi, yang pertama di Indonesia.

Ia mengatakan ulat ngengat tidak digunakan sebagai medium budi daya karena sulit didapat dan dipelihara.

"Kalau ulatnya sakit, kami tidak bisa quality control, nanti malah menulari semua ulat yang ada. Maka itu kami hilangkan semua unsur hewani," terang Frisca.

Saat ini pihaknya dapat memproduksi 980 botol cordyceps setiap hari.

"Itu sudah melalui proses panjang. Spora cordyceps dimasukkan ke botol yang sudah diisi beras. Kemudian kami jaga agar tetap steril dan suhunya tidak lebih dari 18 derajat celsius. Kami harus menunggu setidaknya tiga bulan hingga cordyceps bisa dikonsumsi."

Budi daya tidak hanya dilakukan Mucho Cordyceps.

Misai Tsai pun melakukan hal sama, Yang membedekan, ia fokus pada dunia perikanan.

"Ini dilakukan keluarga saya selama empat generasi dan di Indonesia saya mulai budi daya sejak 13 tahun lalu."

Pria asal Taiwan yang fokus pada budi daya kerapu, kakap putih, dan bawal itu memilih lokasi di Kepulauan Seribu, Jakarta.

"Lokasinya sangat bagus, banyak karang dan sirkulasi air lautnya sangat baik sehingga cocok untuk budi daya," ucapnya dalam bahasa Indonesia.

Saat ini dengan total investasi US$3 juta, budi daya ikan laut milik Misai bisa menampung 3.000 ikan.

Budi daya jamur dan ikan laut hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak misi kerja sama antara Taiwan dan Indonesia di bidang pertanian dan perikanan yang telah terjalin selama 40 tahun terakhir.

"Indonesia negara dengan peran penting bagi kami. Indonesia memiliki potensi sangat besar dari segi sumber daya di bidang pertanian dan perikanan," ujar Kepala Perwakilan Taipei Economic and Trade Office (TETO) Chang Liang-Jen di Jakarta, Kamis (8/12) malam.

Namun, lanjutnya, dengan sumber daya yang luar biasa besar, Indonesia masih kurang memanfaatkan teknologi yang tentunya dapat lebih memaksimalkan hasil kekayaan alam itu.

"Tekniknya belum baik dan kami bersedia dan sudah melakukan transfer teknologi sebagai bentuk dukungan dan kerja sama," lanjutnya.

Chang juga mengatakan telah memiliki komitmen baru untuk meningkatkan kolaborasi dengan negara-negara Asia Tenggara, khususnya Indonesia, dengan meneken perjanjian kerja sama bertema Kebijakan baru ke arah selatan.

"Dengan begitu, hubungan kerja sama ini akan lebih baik dan lebih erat lagi di masa mendatang." (Andhika Prasetyo/E-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya