Headline
Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.
Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.
PRESIDEN Joko Widodo mengatakan keputusan Indonesia keluar sementara dari Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) untuk menyeimbangkan kondisi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
"Kalau memang kita harus keluar lagi, juga tidak ada masalah," kata Presiden menjawab pertanyaan seusai membuka acara Rapimnas Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia di Hotel Borobudur, Jakarta, kemarin.
Presiden menjelaskan Indonesia bukan kali ini saja keluar dari OPEC.
Pembekuan pertama pada 2008 dan efektif berlaku 2009.
Indonesia kembali aktif sebagai anggota OPEC pada awal 2016.
Keputusan Indonesia membekukan sementara (temporary suspend) keanggotaan OPEC diambil dalam Sidang ke-171 OPEC di Wina, Austria, Rabu (30/11) waktu setempat.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan yang menghadiri sidang tersebut menjelaskan langkah pembekuan diambil setelah sidang memutuskan memotong produksi minyak mentah sebesar 1,2 juta barel per hari di luar kondensat.
Sidang juga meminta Indonesia memotong sekitar 5% dari produksinya atau sekitar 37 ribu barel per hari.
"Padahal, kebutuhan penerimaan negara masih besar dan pada RAPBN 2017 disepakati produksi minyak di 2017 turun 5.000 barel jika dibandingkan dengan 2016," jelas Jonan.
Jonan menambahkan, sebagai negara net importer minyak (crude oil), pemotongan kapasitas produksi ini tidak menguntungkan Indonesia karena harga minyak secara teoretis akan naik.
Menko Perekonomian Darmin Nasution memastikan keputusan Indonesia tidak ada masalah karena peranan produksi minyak nasional untuk internasional tidak banyak.
Menko Bidang Maritim Luhut B Pandjaitan mengatakan, dengan pembekuan itu Indonesia hemat US$2 juta per hari.
"Kalau kita ikut, produksi kita terpotong 37 ribu barel per hari (bph). Itu setara dengan US$2 juta per hari. Buat APBN, itu sangat berpengaruh."
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notogegoro mengapresiasi keputusan tersebut.
"Ibaratnya kita pakai motor matic, tapi ikut perkumpulan motor gede," ujarnya.
Menurutnya, kewajiban penurunan produksi hingga 37 ribu bph itu pasti memberatkan Indonesia.(Jes/Pol/Dro/X-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved