Headline
Setnov telah mendapat remisi 28 bulan 15 hari.
GANGGUAN pasokan gas yang terjadi sejak awal 2024 memicu kepanikan industri. Pelaku usaha mengeluhkan kesulitan memperoleh pasokan, yang berujung pada pembatasan kuota pemanfaatan gas dengan harga bumi tertentu (HGBT) yang berlaku pada 13–31 Agustus 2025, serta lonjakan harga gas.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu mengatakan bahwa kondisi ini tentunya berdampak pada industri padat energi seperti kaca, keramik, baja, petrokimia hingga pupuk.
Menurutnya, pasokan yang terbatas dan harga yang tinggi menunjukkan rapuhnya fondasi energi Indonesia yang masih bergantung pada gas.
"Ancaman PHK massal pun kini juga membayangi sektor industri pengguna gas, yang menghadapi bahan bakar mahal sekaligus tidak stabil ketersediaannya," kata Bondan dalam keterangannya, Selasa (19/8).
Ia menjelaskan, krisis gas ini tentunya menjadi bukti nyata bahwa Indonesia sulit mencapai ketahanan energi, jika ketergantungan pada energi fosil terus berlanjut.
Namun, pemerintah justru malah berencana meningkatkan penggunaan gas domestik dengan menambah porsi pembangkit listrik berbahan bakar gas dengan menetapkan rencana pembangunan 10,3 gigawatt pembangkit listrik tenaga gas dalam sepuluh tahun ke depan, dengan 90 persen atau 9,3 GW dibangun hanya dalam lima tahun pertama.
"Potensi ini tentunya akan semakin mempersulit pemerintah mencapai ketahanan energi," ujarnya.
Sementara itu, menurut studi Global Energy Monitor, harga energi terbarukan, khususnya tenaga surya, semakin kompetitif dibandingkan listrik berbasis gas. Indonesia sendiri memiliki potensi energi surya mencapai 3.200 GW, namun baru dimanfaatkan sekitar 270 MW pada 2024 atau kurang dari 1 persen.
Menurut Bondan, energi surya lebih stabil karena tidak bergantung pada pasar global, sekaligus sejalan dengan agenda Swasembada Energi yang diusung pemerintahan Prabowo.
Oleh karenanya, ia menegaskan bahwa krisis gas kali ini adalah peringatan penting agar pemerintah tidak lagi menganggap gas sebagai solusi transisi energi. Ia mendorong pemerintah untuk dapat segera beralih pada energi terbarukan.
"Gas terbukti mahal, pasokannya rentan terganggu bencana maupun geopolitik, dan cadangan dalam negeri semakin terbatas. Jika pemerintah serius ingin mencapai ketahanan energi, maka fokusnya harus segera beralih pada pengembangan energi terbarukan, bukan memperpanjang ketergantungan terhadap energi fosil, termasuk gas," tuturnya.
Greenpeace pun mendesak pemerintah untuk membatalkan rencana penambahan pembangkit listrik berbahan bakar gas dalam RUPTL terbaru, serta mempercepat investasi di energi terbarukan yang lebih bersih, stabil, dan mampu membuka lebih banyak lapangan kerja.
"Sudah saatnya Indonesia fokus mengembangkan energi terbarukan dan lepas dari ketergantungan terhadap energi fossil, termasuk gas, dan membatalkan rencana penambahan pembangkit gas baru dalam RUPTL," ucapnya. (Fik/I-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved