Headline

Gaikindo membeberkan penyusutan penjualan mobil di Tanah Air.

Mendidik Generasi Pengembang Bisnis Logistik

Tesa Oktiana Surbakti
07/11/2016 06:15
Mendidik Generasi Pengembang Bisnis Logistik
(MI/Atet Dwi Pramadia)

WAKTU menunjukkan pukul 12.09 WIB.

Suasana perkantoran di bilangan Jakarta Timur itu tampak lengang.

Maklum, mayoritas karyawan tengah rehat untuk bersantap siang.

Di sebuah ruangan rapat, tak berapa lama sapaan hangat terdengar begitu pintu dibuka. "Maaf membuat menunggu, tadi ada urusan sebentar," ucap seorang pria berkacamata kepada Media Indonesia, Kamis (22/9).

Padahal, kedatangannya tidak terlalu jauh dari janji temu.

Ramah dan bersahaja.

Kesan itu yang ditangkap dari sosok CEO of ARK Group, Abdul Rahim Tahir.

ARK Group merupakan sebuah perusahaan yang berdiri sejak 2010.

Dimulai dari lini bisnis layanan truk, kini perusahaan itu telah berkembang menjadi industri third party logistic company (3PL) dengan berbagai jenis layanan sourcing, transportasi, dan jasa logistik.

Perkenalan Rahim dengan bisnis logistik terjadi lebih dari 30 tahun lalu.

Enam bulan sebelum masa wajib militernya selesai pada era 1980-an, pria berkebangsaan Singapura tersebut menghadapi dilema: melanjutkan pendidikan formal atau langsung mencari kerja.

"Sebenarnya saya memang minat lakukan aktivitas. Ada keinginan untuk menjadi manajer atau pemimpin di sebuah perusahaan," tutur Rahim dengan logat melayu yang kental setelah mengingat-ingat sejenak awal perjalanan kariernya.

Dengan restu dari orangtuanya, Rahim kemudian membulatkan tekad mencari kerja.

Ia paham betul mayoritas perusahaan biasanya hanya mau menerima calon karyawan untuk posisi manajer atau bahkan staf operasional dengan latar belakang pendidikan minimal setingkat strata 1 (S-1).

Kualifikasi tersebut tidak dimiliki Rahim yang ketika itu baru mengantongi ijazah sekolah menengah atas (SMA).

Namun, ia tidak berkecil hati.

Rahim memberanikan diri melamar posisi kurir di sebuah perusahaan ekspedisi multinasional, Airborne Express.

Kala itu, sekitar 1981-1982, tengah dimulai pembangunan bandara yang menjadi awal perkembangan industri logistik di Singapura.

"Prinsip saya, kalaupun memulai dari bawah, harus di perusahaan multinasional karena mereka sudah matang secara proses, prosedur, dan pasti memberi training-training khusus bagi karyawannya. Itu yang saya looking forward-lah," imbuhnya.

Semasa menjadi kurir, ia menunjukkan minat besar terhadap sistem keseluruhan di bisnis logistik.

Seusai ia merampungkan pengantaran paket mulai ayam berkokok hingga matahari tenggelam, dia tak langsung pulang ke rumah.

Ia justru asyik berdiskusi dengan karyawan di lingkup operasional dan manajerial. Belajar bisnis logistik secara informal.

"Saya akhirnya ikut dilibatkan mengurus dokumen ekspor impor, surat pemantau udara, hingga terkait dengan Bea dan Cukai. Jadi, selama 6 bulan, saya mempelajari proses keseluruhan dari sisi operasi," urai Rahim.

Keuletannya belajar kemudian mengantarkan Rahim ke posisi yang lebih baik daripada kurir, yakni sales.

Karena mengemban jabatan anyar, Rahim pun dikirim perusahaan ke markas Airborne Express di Seattle, AS, untuk mendalami strategi dan teknik pemasaran yang lebih mumpuni.

Kepiawaian Rahim menjadi karpet merah untuk meraih posisi manajer.

Dengan segala pengalaman yang diperoleh, Rahim sadar pendidikan formal tetap harus ditempuh bila ia ingin menggapai karier yang lebih cemerlang.

"Jadi, saya tetap kuliah di sela-sela aktivitas. Siang kerja, malamnya kuliah. Itu sebelum jadi manajer ya. Dengan ilmu, pola berpikir kita diperluas, termasuk untuk menyusun strategi. Setelah S-1, pelan-pelan lanjutlah saya ambil S-2," terang peraih gelar MBA Strategic Marketing di University of Hull, Inggris, itu.

Karena merasa cukup menempa hidup di Airborne Express, ia memutuskan mencari peluang di perusahaan-perusahaan logistik lain.

Federal Express (Fedex) dan DHL ialah beberapa perusahaan yang sempat menaunginya.

"Tahun 2001 saya keluar dari Fedex Singapore untuk bergabung di Fedex Indonesia sebagai CEO. Nah, 2006, sempat saya masuk ke DHL Supply Chain sebagai country managing director sampai 2015. Tibalah akhirnya di ARK Group," kenang Rahim.

Mendidik diri

Lama menyelami asam garam dunia bisnis jasa ekspedisi dan logistik membuatnya ingin berbagi ilmu agar tidak sekadar mengendap di otak.

Hingga kini ia aktif menjadi dosen paruh waktu di Universitas Teknologi Nanyang, Singapura.

Pun pascamenetap di Indonesia, dia menjabat presiden di Chartered Institute Logistics and Transport (CILT) Indonesia yang berpusat di Inggris.

Melalui lembaga pelatihan dan sertifikasi itu, tenaga pekerja di sektor logistik akan memperoleh pengetahuan yang lebih komprehensif.

Hal itu penting seiring dengan pesatnya perkembangan sektor logistik di Tanah Air yang tidak hanya menuntut kemajuan teknologi, tetapi juga kualitas sumber daya manusia (SDM).

"Life is a long learning. Saya jadi dosen bukan karena pintar atau mampu. Sebenarnya saya ingin mendidik diri saya sendiri. Sebelum mengajar tentu saya harus menyiapkan materi atau belajar isu-isu yang sedang menjadi tren. Sederhananya, kalau mahasiswa tidak paham, artinya saya yang sebenarnya tidak paham dengan materi yang diajarkan," ujarnya seraya tertawa.

Edukasi juga menjadi bagian dari kepemimpinan Rahim di ARK Group yang memiliki sekitar 1.400 karyawan.

Ia tidak jemu mendidik para anak buahnya melalui serangkaian pelatihan agar dari nothing menjadi something.

Soalnya, ia menilai, percuma sebuah perusahaan punya visi dan misi besar jika tidak diimbangi dengan kemampuan karyawan.

"Bagaimana mau jalankan bisnis logistik kalau karyawan tidak ada knowledge soal supply chain dan lainnya? Sebisa mungkin saya luangkan waktu untuk mentransfer informasi sebanyak mungkin kepada karyawan," tuturnya.

Rahim mengungkapkan akhir-akhir ini konsumen tidak lagi mencari jasa ekspedisi dan logistik yang menjual kecanggihan teknologi dan kecepatan semata.

Hal yang dicari ialah penyedia jasa yang mampu menyelesaikan hambatan dengan solutif.

Itu sebabnya investasi ARK turut mengagendakan sertifikasi SDM yang juga dapat memudahkan perusahaan dalam mengalokasikan karyawan ke posisi yang tepat.

"Berhadapan dengan konsumen, mana bisa cuma jual gudang atau layanan truk yang cepat atau pun teknologi. Kita harus lebih dari itu, misalnya mampu memahami masalah di supply chain yang menghambat konsumen di pelabuhan. Itu perlu didukung SDM yang kompeten agar mampu menganalisis masalah," ucapnya.

Lebih kompleks

Rahim tidak menampik, bila dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, tantangan bisnis logistik di Indonesia lebih kompleks.

Utamanya berasal dari akses infrastruktur dan fasilitas pelabuhan. Belum lagi karakteristik wilayah Indonesia yang berupa kepulauan.

Alhasil, pelaku bisnis logistik di Indonesia harus berpikir keras bagaimana dapat melakukan distribusi tepat waktu dengan tetap mengefisiensikan biaya.

Rahim turut mengkritik keruwetan birokrasi terkait dengan pengecekan barang yang masuk jalur ekspor impor.

Menurutnya, hal itu tidak terlepas dari masih digunakannya sistem manual.

Padahal, pemanfaatan teknologi dapat berkontribusi menekan biaya logistik.

"Ambil contoh di Singapura. Begitu kargo naik ke pesawat, manifestasi kargo sudah dikirim ke Bea Cukai Singapura. Dengan sistem elektronik itu, pihak Bea Cukai sudah bisa seleksi atau tax assesment. Akhirnya begitu pesawat mendarat, berbagai pengecekan sudah kelar. Itulah yang saya maksud sistem di sana lebih ringkas," terang Rahim yang menilai adopsi perkembangan teknologi di Indonesia cenderung lamban.

Baru belakangan ini ia melihat keseriusan pemerintah Indonesia membenahi infrastruktur, menyederhanakan regulasi, bahkan memberantas aksi pungutan liar (pungli).

Rahim mengapresiasi betul upaya tersebut karena komponen biaya logistik di Indonesia masih tergolong tinggi. Ketimbang Malaysia, jaraknya mencapai 24%.

Kontribusi menekan biaya logistik juga diterapkan ARK Group dengan membangun pergudangan yang sistemnya mengedepankan teknologi dan otomatisasi.

"Jika fasilitas bongkar muat lebih cepat dengan otomatisasi sistem, itu bisa tingkatkan produktivitas, sedangkan di sini kita lihat masih banyak yang gunakan loading curah dengan bertumpu man power," begitu analisisnya.

Menebus waktu

Atas capaiannya, Rahim tak lupa berterima kasih kepada kedua orangtua yang bersikap legawa membiarkan anaknya mencari pengalaman terlebih dahulu sebelum melanjutkan pendidikan formal.

Dia pun begitu mensyukuri karunia Sang Pencipta dengan kehadiran pasangan hidup yang sangat mendukung jejak kariernya.

Apalagi, sang istri rela menuruti keinginan Rahim untuk menjadi ibu rumah tangga 100% sehingga penanganan urusan domestik lebih optimal.

Lantaran kerap bekerja sampai larut dan kurang memiliki waktu bersama keluarga, Rahim selalu mengagendakan liburan keluarga setiap tahun sebagai penebusan quality time.

"Setiap tahun pasti kami sekeluarga selalu punya agenda travelling selama beberapa hari. Semua negara menjadi berkesan karena pergi bersama keluarga," kisah pria yang hobi membaca dan berolahraga tersebut.
(E-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya