ISU perdagangan garam terbilang cukup sensitif. Di satu sisi, pemerintah terpaksa membuka keran impor guna memenuhi kebutuhan industri yang mencapai 2 juta ton per tahun. Di lain pihak, petani garam berteriak lantaran harga garam rakyat terus merosot dan importasi garam rentan dengan kebocoran. Walakin, tidak bisa dimungkiri bahwa kualitas garam lokal belum menyamai standardisasi garam kebutuhan industri. Maka itu, sebagai jalan tengah, pemerintah akan mengubah tata niaga importasi garam dari sistem kuota menjadi sistem tarif dengan penguatan pada pascaaudit. "Garam ini contoh klasik perdagangan yang diatur sistem kuota secara eksplisit dan implisit. Sistem itu tidak bagus, kita harus ubah jadi sistem tarif," papar Menko Kemaritiman Rizal Ramli seusai rapat koordinasi bersama Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti,
Menteri Perindustrian Saleh Husin, Menteri Perdagangan Thomas Lembong, perwakilan PT Garam beserta ahli pergaraman, di Gedung BPPT, Jakarta, kemarin. Kuota impor merupakan kebijakan perdagangan yang membatasi arus ekspor/impor suatu produk selama waktu tertentu. Rizal berpendapat penggunaan sistem kuota pada akhirnya hanya menguntungkan segelintir pihak, termasuk pedagang dan pemegang izin kuota impor, pun memunculkan kartel. "Sistem kuota merugikan masyarakat, karena yang dapat keuntungan itu para pemegang izin impor. Contohnya komoditas gula. Harga di luar negeri sangat murah ketimbang harga lokal, mereka datangkan gula dari luar untuk dapatkan keuntungan berlebih," ujarnya.
Dengan sistem tarif, kelak siapa pun boleh mengajukan permohonan impor garam selama membayar tarif. Pungutan tarif dimaksudkan untuk melindungi keberadaan petani garam lokal, sekaligus mendukung intensifikasi lahan pertanian garam rakyat. "Patokan perhitungan kami, besaran tarif bisa berkisar Rp150-Rp 200 per kg," cetusnya diiringi anggukan para menteri teknis.
Pengawasan Guna mengakomodasi kepentingan antarkementerian/lembaga terkait, akan dibentuk tim pengawasan lintas instansi. Fungsi tim pengawasan antara lain menghitung kebutuhan, besaran produksi, dan impor. Rizal memandang selama ini validitas data jadi kendala dalam pembuatan kebijakan. "Data setiap kementerian sering berbeda. Kita harus cari angka di tengah-tengah agar tidak ada dramatisasi dalam menentukan berapa produksi, berapa kebutuhan." Menteri KKP Susi Pudjiastuti menambahkan pihaknya menyadari suplai untuk industri harus tetap berjalan.
Namun, ia menekankan industrialis yang memegang izin impor jangan curang. "Saya minta Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian juga bekerja sama. Percuma KKP bangun kualitas, tapi tata niaganya tidak dibantu," ucap Susi. "Asalkan kualitas garam lokal kita mampu memenuhi standardisasi garam industri, kita pasti dorong pelaku usaha gunakan garam lokal. Cuma itu kan sedang berproses, artinya impor masih diperlukan untuk memenuhi bahan baku industri," imbuh Menperin Saleh Husin. Pada 2015, kuota impor garam untuk industri aneka pangan mencapai 379 ribu ton dan industri 1,5 juta ton. Menteri Perdagangan Thomas Lembong belum bisa menerangkan lebih detail bagaimana penggodokan tarif impor garam, tapi mengaku berkomitmen penuh mengubah tata niaga garam.