KENDATI perekonomian Amerika Serikat terus membaik, bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), tetap mempertahankan suku bunga acuan 0-0,25%. Dalam sidang Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) yang berakhir dini hari WIB, kemarin, The Fed memutuskan mempertahankan 'kebijakan nol persen' yang sudah berlangsung tujuh tahun tersebut.
Berbagai negara dan kalangan bisnis global, termasuk Indonesia, tadinya berharap The Fed menaikkan suku bunga di 0,30%-0,50%. Ekspektasi itu muncul seiring dengan membaiknya ekonomi AS yang ditandai dengan turunnya pengangguran dari 9,5% saat krisis menjadi sekitar 5,1% tahun ini serta pertumbuhan ekonomi di angka 2,2-2,7% saat ini, ketimbang -2,6% saat krisis 2009 lalu.
Penaikan suku bunga The Fed tadinya diharapkan memberikan kepastian ekonomi global. Bagi Indonesia, ketidakpastian penaikan suku bunga The Fed selama ini membuat rupiah dan indeks harga saham gabungan rontok oleh aksi spekulasi.
Karena itu, keputusan The Fed dinilai memperpanjang ketidakpastian. "Itu hanya menunda persoalan dan membuat ketidakpastian berlanjut, utamanya akan melanjutkan aksi spekulasi pelaku keuangan," kata Menko Perekonomian Darmin Nasution seusai menemui Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, kemarin.
Aksi spekulasi itu muncul, Darmin menukas, karena masih ada ketidakpastian soal kapan The Fed mulai menaikkan suku bunga. The Fed memberi sinyal bakal menaikkan suku bunga pada Oktober atau Desember 2015.
"The Fed itu fungsinya ganda, menjaga nilai dolar dan menjaga employment, kesempatan kerja. Kenapa dia enggak menaikkan suku bunga, itu karena angka employment-nya belum bagus," jelas Darmin.
Kendati demikian, Darmin meminta masyarakat dan pelaku pasar di Indonesia tidak risau. Itu karena pemerintah dan BI telah menyiapkan sejumlah langkah antisipasi atas apa pun kebijakan The Fed.
"Pemerintah membantu BI, misalnya, melalui kebijakan menarik dana dari luar melalui surat berharga," lanjutnya.
Gubernur BI Agus Martowardojo mengingatkan Indonesia mewaspadai banyaknya dana asing yang keluar dari pasar modal. BI mencatat, dalam periode Januari-September tahun lalu, aliran dana masuk mencapai Rp170 triliun, tapi pada periode yang sama tahun ini hanya Rp40 triliun. "Ini semua karena masih menunggu perkembangan AS," kata Agus.
Namun, Agus tetap optimistis karena kredit perbankan masih tumbuh. "Hingga Agustus, pertumbuhan kredit di kisaran 10,9%, tumbuh dari bulan Juli di kisaran 9%."
Managing Director dan Kepala Financial Market Standard Chartered Bank Prakash Subramanian menyebutkan kondisi ketidakpastian diprediksi akan berlangsung sampai akhir 2015. "Ditambah jika pada Desember The Fed menaikkan suku bunga," ujarnya.
Ia menyarankan pemerintah membangun kepercayaan pasar. Jika pasar nyaman dan percaya, konsumsi dan harga komoditas akan naik. Rupiah menguat Sementara itu, keputusan The Fed direspons positif oleh pasar uang dan saham. Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan di pasar spot, kurs rupiah ditutup menguat 85 poin ke level 14.374 per dolar AS setelah sebelumnya diperdagangkan di level 14.489 per dolar AS. Demikian pula dengan IHSG yang ditutup menguat 1,95 poin ke level 4.380,32. (Pol/Arv/X-3)