SELURUH petani garam kian merugi. Harga garam saat ini anjlok ke level Rp250 per kilogram (kg). Nilai garam rakyat itu jauh lebih rendah daripada harga pokok penjualan (HPP) yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp750 per kg untuk garam kualitas I, Rp550 per kg untuk kualitas II, dan Rp450 per kg untuk kualitas III. "Harga tradisional garam nongeoisolator di Madura sekitar Rp300-Rp400 per kg. Lebih parah lagi di Lamongan, harga jualnya jatuh sampai Rp250 per kg. Petani sempat frustrasi," ungkap Ketua Himpunan Masyarakat Petani Garam (HMPG) Jawa Timur Muhammad Hasan di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta, kemarin.
Terperosoknya harga jual garam rakyat itu, kata Hasan, disebabkan rendahnya penyerapan yang dilakukan PT Garam (persero). Pemerintah yang seharusnya mendorong penyerapan justru memperparah dengan membuka keran impor. "Memang kualitas produksi garam rakyat belum optimal, tetapi (pemerintah) seharusnya dorong penyerapan yang rendah," tegas dia. Sementara itu, manajemen PT Garam (persero) mengungkapkan penyebab belum terealisasinya penyerapan garam lokal ialah belum cairnya suntikan penyertaan modal negara (PMN) sebesar Rp300 miliar.
"Peraturan pemerintah (PP)-nya saja di Kemenkum dan HAM baru keluar sekitar Oktober atau November," tandas Kepala Divisi Penyerapan Garam Rakyat PT Garam (persero) Budi Sasongko. Apabila cair, ia mengatakan mengalokasikan Rp222 miliar dari total PNM untuk serapan 400 ribu ton garam. Direktur Jasa Kelautan KKP, Riyanto Basuki, berjanji akan menstabilkan harga melalui penguatan sistem pergudangan.
Minimnya gudang penyimpanan membuat petani tidak bisa mengamankan garam produksi untuk jangka waktu yang panjang. Alhasil, pola distribusi berjalan kurang baik. "Keberadaan gudang penyimpanan itu penting agar distribusi bisa merata. Jadi, begitu produksi melimpah, petani tidak bisa apa-apa. Padahal, seharusnya itu menjadi cadangan agar harga bisa bersaing," pungkas Riyanto.