Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
KEHADIRAN sosok Sri Mulyani Indrawati sebagai menteri keuangan (menkeu) di Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo menggantikan Bambang Brodjonegoro sejak 27 Juli 2016 menjadi kejutan. Di tengah perekonomian Indonesia yang tertekan oleh gejolak penurunan drastis harga minyak dan gas bumi serta komoditas sumber daya alam yang menyebabkan defisit neraca perdagangan dan menurunkan gairah investasi, kehadiran Sri Mulyani menumbuhkan harapan bagi banyak orang. Rekam jejaknya cukup teruji saat ia dipercaya beberapa kali berganti posisi memegang posisi menteri bidang ekonomi mulai menteri perencanaan pembangunan nasional/Kepala Bappenas hingga menteri keuangan sekaligus plt menteri koordinator bidang perekonomian di era Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat diminta bergabung kembali sebagai menkeu, Sri Mulyani tengah memegang posisi strategis dan prestisius sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia (World Bank). Berikut petikan wawancara wartawan Media Indonesia Jajang Sumantri dengan Sri Mulyani dengan beberapa kutipan dialog dari sebuah acara di Studio Metro TV, Kedoya, Jakarta Barat, Selasa (18/10).
Dalam dua tahun pemerintahan Presiden Jokowi dan Jusuf Kalla, apa capaian dan tantangan yang masih harus dihadapi?
Pemerintah tentu melakukan evaluasi dalam dua tahun ini. Beragam program yang menjadi prioritas untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan terus dijalankan melalui program-program seperti pembangunan infrastruktur, bagaimana memperbaiki subsidi agar tepat sasaran, hingga meningkatkan efisiensi. Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan yang disebut paket ekonomi dari 1-13 yang bertujuan memperbaiki kebijakan agar dunia usaha mampu melihat kesempatan-kesempatan yang terbuka dan bergairah dengan berbagai macam insentif yang bisa diberikan pemerintah. Semua ini bermuara pada tujuan perekonomian Indonesia bisa tumbuh tinggi dan terus meningkat. Kita akan terus mengevaluasi dan menggunakan semua instrumen kebijakan untuk mencapai kinerja yang diinginkan.
Apakah kondisi pasar global bakal tetap menjadi tantangan besar bagi perekonomian nasional?
Dari sisi pasar luar negeri, kondisi pasar dunia memang tengah mengalami pemulihan semenjak krisis dan ini menyebabkan pelemahan terhadap ekspor barang dan jasa terutama dari pasar Tiongkok. Oleh karena itu, kita perlu merangsang pertumbuhan ekonomi yang berasal dari pasar domestik tetapi tetap menjaga competitiveness atau daya saing kita dan kemampuan kita untuk mencari pasar-pasar yang baru.
Di tengah penurunan harga komoditas sumber daya alam dan hasil migas nasional, adakah potensi lain selain pajak yang bisa diandalkan untuk berkontribusi dalam penerimaan negara?
Masih ada, misalnya dari bea cukai memberi sumbangan, kita optimalkan seperti cukai rokok, minuman beralkohol, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) baik dari sisi sumber daya alam yang tengah turun maupun penerimaan dari badan layanan umum (BLU) dan tarif lain-lain yang bisa kita perbaiki. Jadi kita masih punya potensi yang cukup besar, pajak tetap kita upayakan dan yang nonpajak serta cukai juga tetap kita perbaiki.
Apakah beragam upaya efisiensi mulai pengurangan masa bongkar muat di pelabuhan (dwelling time), pemberantasan pungli dan penyederhanaan perizinan, hingga percepatan pembangunan infrastruktur bisa mengatasi tantangan pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depannya?
Kalau sudah dilakukan itu kemudian menimbulkan kepercayaan dari publik dari dunia usaha. Katakanlah kalau beban-beban ekonomi dikurangi sehingga dunia usaha melihat beban mereka menurun dan oleh karena itu dengan penerimaan yang ada bisa mendapat keuntungan dan kepastian usaha, tentu itu akan menyebabkan confident bagi mereka yang akan diterjemahkan dalam bentuk investasi-investasi yang baru dan tentu itu yang kita inginkan. Daya beli masyarakat yang kita jaga dari sisi inflasi itu akan menyebabkan masyarakat merasa memiliki kepercayaan untuk bisa melakukan aktivitasnya. Ini semua akan berdampak positif.
Apa yang harus dilakukan supaya persoalan kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan sosial segera terlampaui?
Pembangunan di Indonesia bisa menurunkan kemiskinan hingga 10,9% pada 2015, tetapi dia tidak menurun secara cepat. Yang lebih mengkhawatirkan dari sisi kesenjangan berupa koefisien Gini, kita memburuk dari 0,3 ke 0,41 dan sedikit membaik jadi 0,40 di 2016 ini. Ini menandakan dalam pembangunan ekonomi itu ada unsur inklusivitas yang perlu diperbaiki, ada masyarakat yang tertinggal atau tidak mengenyam pertumbuhan ekonomi itu. Setiap persen pertumbuhan ekonomi hanya mampu menciptakan lapangan kerja bagi 100 ribu-200 ribu orang saja. Itu harus segera diperbaiki supaya pembangunan dan pertumbuhan ekonomi bisa menyelesaikan ketiga masalah itu. Sisi penerimaan pajak bisa sangat efektif, lalu ada juga 1% masyarakat Indonesia yang menguasai 50% aset itu juga harus membayar pajak supaya uang mereka bisa juga membiayai pembangunan untuk mengurangi kemiskinan itu. Itu bertujuan agar bisa menciptakan berbagai kesempatan kerja yang bisa menghasilkan kelompok menengah dan menjadi mesin pertumbuhan juga. Pajak penting dan belanjanya juga. Kalau kita membelanjakan APBN secara lebih baik dengan menghilangkan inefisiensi belanja yang dianggap tidak mendukung program pengurangan kemiskinan, pembangunan infrastruktur, penciptaan lapangan kerja, dan kesenjangan sosial itu disertai dengan subsidi yang tepat sasaran dan investasi yang berjalan karena tumbuhnya kepercayaan investor. Instrumen APBN itu bisa bermanfaat bagi masyartakat miskin, kelompok menengah dan bahkan bagi golongan terkaya karena dampak daya beli yang meningkat akan menjadi lahan yang bagus bagi meraka untuk melakukan investasi.
Kenapa langkah pemotongan anggaran kementerian/lembaga harus dilakukan?
Untuk menjaga kembali postur APBN yang saat itu ditandai dengan ekspektasi penerimaan dari kebijakan perpajakan dan penyederhanaan investasi yang sebenarnya tidak bisa secara langsung melonjak, diperlukan penyesuaian dari sisi belanja dengan dipotong atau ditunda sehingga seluruh aktivitas pemerintah memiliki postur yang dilihat oleh masyarakat dan dunia usaha itu kredibel. Memang ada koreksi, tapi itu untuk membuat postur APBN mendapat kepercayaan dari masyarakat dan investor.
Ke depannya, apakah bisa dibuat postur APBN yang lebih realistis dan kalau perlu tidak harus berubah lagi lewat APBN-P?
Merencanakan APBN itu bukan pengetahuan yang eksak, tetapi minimal dari sisi penerimaan kita bisa memperkirakan melalui volume ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Basis ekonomi itu memberi indikasi ini adalah ruang buat kita untuk melakukan proyeksi penerimaan. Potensi pajak yang cukup besar bisa menjadi andalan, tetapi bergantung pada aparat, instansi, dan kebijakan pajak kita. Semuanya perlu untuk pembenahan manajemen dan kepemimpinan agar efektivitas Ditjen Pajak bisa mendukung penerimaan pajak.
Sampai kapan tekanan terhadap sisi penerimaan negara ini terjadi?
Saya rasa yang perlu dibangun ialah basis yang lebih akurat sehingga kita bisa merencanakan anggaran yang lebih pasti, memiliki basis kalkulasi yang kredibel atau realistis. Kami melakukan revisi untuk 2016 sehingga di 2017 kita bisa mematok target yang lebih realistis.
Target pertumbuhan ekonomi 5,0% tahun ini dan 5,1% di 2017 apakah cukup realistis?
Kami melihatnya pencapaian pertumbuhan ekonomi di kuartal I cukup bagus, kuartal II melemah, dan kuartal III terjadi penyesuaian dan baru pada kuartal IV akan ada kompensasinya, meningkat lagi. Itu cukup realistis.
Sejauh mana keberhasilan amnesti pajak yang cukup disambut antusias di periode pertama?
Saya tentu berterima kasih kepada wajib pajak yang telah berpartisipasi. Banyak masyarakat yang terdaftar menjadi wajib pajak dan baru mulai memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) untuk kali pertama. Penerimaan tebusan amnesti pajak hingga bulan ini ada Rp97,5 triliun. Itu sangat membantu karena penerimaan pajak hingga triwulan III ini baru 58%, jadi tiga bulan terakhir ini kita harus mengumpulkan 40% supaya belanja tahun ini sesuai dengan estimasi penerimaan yang sudah kita rancang. Itu untuk membangun momentum ekonomi kita.
Bagaimana pajak bisa lebih adil dan orang sukarela menjadi wajib pajak?
Membayar pajak itu untuk menjaga kedaulatan, kemakmuran, pendidikan, kesehatan, dan pembangunan. Itu semuanya butuh biaya. Tradisi patuh membayar pajak dengan benar itu menjadi instrumen kontribusi warga negara. Ada anggapan pajak di Indonesia terlalu tinggi. Itu tidak fair kalau hanya dibandingkan dengan tetangga karena di banyak negara maju angka pajaknya juga cukup tinggi. Namun, kita terus mencoba mengiringinya dengan insentif untuk usaha yang bersifat inovasi, menyerap banyak tenaga kerja, kita bisa memberi tax allowance, tax holiday hingga lima tahun hingga mereka bisa menghasilkan balik modal dan meraih keuntungan. Kita masih memiliki rasio penerimaan pajak yang rendah. Dari program tax amnesty kalau terkumpul WP pribadi 400 ribu, UKM 16 ribu, itu masih jauh lebih rendah daripada potensinya yang misalnya 20 juta wajib pajak. Pengampunan pajak kesempatan yang baik, UU Tax Amnesty bahkan mengatakan itu sebagai hak warga negara. (B-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved