WIDIANTO harus menunggu satu bulan untuk bisa mengeluarkan gula impor yang akan menjadi bahan baku permen dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Namun, karena harus mengimpor minimal 10 kali, dia harus menunggu lebih dari satu tahun untuk mengeluarkan semua barangnya. Menurut Widianto, barang yang diimpornya lama keluar lantaran harus melalui pemeriksaan di laboratorium. Padahal, pengusaha logistik itu harus bisa mengeluarkan barang itu secepatnya supaya bahan baku tersebut bisa diolah kembali dan diekspor.
"Ini yang membuat ekonomi kita selalu tertinggal dari negara lain bahkan dari negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam," ujar Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder (ALFI) Wilayah DKI Jakarta itu kepada Media Indonesia, pekan lalu. Selain lamanya proses pengeluaran barang (dwelling time) itu, pria paruh baya tersebut mengeluhkan banyaknya perizinan yang terjadi di pelabuhan. Hal itu akhirnya dimanfaatkan preman terselubung yang bermain di dalamnya guna memperkaya diri sendiri.
Tak mengherankan jika banyak pelaku usaha ekspor dan impor harus merogoh kocek lebih dalam karena banyak biaya tidak terduga. Berdasarkan pengalaman Widianto dan sejumlah pengusaha lainnya, jelas Indonesia jauh ketin galan. Sebagai catatan, Singapura yang jauh lebih sibuk memiliki dwelling time hanya satu hari dan Malaysia tiga hari. Beragam permasalahan yang terjadi di pelabuhan paling sibuk di Indonesia itu menimbulkan kerugian Rp780 triliun per tahun. Tak ayal, kondisi tersebut yang sudah terjadi sejak lama kerap membuat harga barang di dalam negeri menjadi lebih tinggi dan membebani konsumen dalam hal ini masyarakat.
"Jadi saya harap pemerintah mau turun tangan mengatur masalah ini," sambungnya. Direktur Eksekutif Namarin (The Maritime National Institute) Siswanto Rusdi menilai sebenarnya permasalahan dwelling time ialah masalah tata kelola pemerintah di sektor kemaritiman. Ia menyoroti salah satu penyebab terjadinya dwelling time yang panjang karena banyaknya instansi pemerintah yang berusaha meregulasi pelabuhan. "Masalah kita tidak hanya yang terjadi di laut dengan instansi-instansi yang melakukan pengawasan dan patroli, tetapi di pelabuhan yang juga banyak terjadi masalah karena banyak instansi yang berusaha meregulasi pelabuhan sehingga jelas tata kelola maritim di laut dan darat kita masih belum rapi," tegasnya.
Siswanto menegaskan permasalahan dwelling time juga dinilai bersumber dari banyaknya berbagai macam kepentingan yang ada di pelabuhan Tanjung Priok, termasuk di antaranya dari sisi pemerintah dan banyaknya 'preman' yang bermain di pelabuhan. "Jelas, peminat pelabuhan di kita itu selain dari pemerintah juga dari preman. Tidak mengherankan kalau jadi bermasalah. Maka dwelling time akan selesai kalau sumber daya manusianya baik dan tidak banyak pihak yang turut campur," kata dia.
Sekretaris Lembaga Penelitian Kepabeanan dan Pengkajian Kamar Dagang dan Industri (Kadin) wilayah DKI Jakarta Adil Karim juga menuding banyaknya perizinan yang harus diproses eksportir dan importir sebagai penyebab lambatnya dwelling time. Ia memberi contoh impor makanan kemasan seharusnya cukup mendapat izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan atau Badan POM. "Kalau kita bicara masalah importasi, kita bicara masalah waktu ke waktu. Setiap waktu bergeser itu sudah cost," kata Adil Karim.
Praktik lama Ketika terjadi penangkapan pejabat Kementerian Perdagangan dengan tuduhan korupsi perizinan bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Widianto tidak terlalu kaget. Secara gamblang dia menyebut praktik kotor semacam itu sudah terjadi sejak lama. "Sebenarnya itu (korupsi) sudah terjadi lama, sudah bertahun-tahun yang lalu, tetapi ya baru terkuaknya sekarang. Dan yang kena batunya ialah Kementerian Perdagangan (Kemendag). Padahal, Kemendag sendiri yang bertugas mengumpulkan izin-izin dari kementerian teknis lainnya," ujar Widianto.
Karena itu, Widianto mengatakan sudah seharusnya fungsi pelabuhan dikembalikan sesuai dengan hakikatnya sebagai tempat bongkar muat, bukan sebagai tempat menimbun barang yang kerap menyebabkan kelangkaan barang di pasaran sehingga terjadi gejolak harga. "Sebaiknya dikembalikan fungsi dari pelabuhan itu sendiri. Pelabuhan merupakan tempat bongkar muat, bukan tempat untuk penumpukan atau menginapkan barang," ucapnya.
Menurut dia, upaya penumpukan barang kerap terjadi karena adanya celah dari Keputusan Menteri Perhubungan No KP 807/2014 tentang relokasi peti kemas yang dapat dilakukan jika yard occupancy ratio (YOR) atau batas tingkat penggunaan lapangan penumpukan di terminal peti kemas asal sudah melampaui 65% atau yang sudah menumpuk lebih dari tujuh hari.
"Jadi semacam ada celah dari aturan tersebut. Importir berpikir nanti saja barangnya dikeluarkan setelah tujuh hari. Seharusnya itu dipangkas menjadi 3-5 hari saja," pungkasnya. Sementara itu, Siswanto menilai, dengan adanya kasus tersebut, banyak industri yang bergerak di sektor maritim dan logistik harus berbenah untuk menghindari kejadian serupa meskipun banyak juga di antaranya para pelaku usaha yang taat hukum sehingga tidak perlu berbenah dan cukup mengikuti peraturan yang sudah ada. "Pengusaha yang melakukan suap itu kebanyakan hanya spekulan. Banyak juga di antara pengusaha yang taat hukum sehingga mengikuti aturan yang ada. Namun, lagi-lagi kondisi di lapangan yang kurang baik," jelasnya.