Headline
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
PEREMPUAN identik lebih telaten dalam berbisnis dan disiplin dalam mengembalikan pinjaman. Mungkin itulah sebabnya jarang kita mendengar perempuan kesulitan mengembalikan pinjaman kredit.
Namun, penelitian yang dilakukan Perkumpulan Akses Keuangan Indonesia (Pakindo) mengungkapkan hasil yang sedikit berbeda dengan citra perempuan yang sangat berhati-hati dengan uang. Saat meriset 221 responden yang semuanya terdiri dari perempuan berbagai kalangan, terungkap kecenderungan perempuan untuk berutang kepada lebih dari dua lembaga pembiayaan. Kebiasaan itu ditengarai Pakindo menjadi penyebab para debitur kesulitan membayar utang dari para kreditur.
Menurut kajian Pakindo, 54% responden mengaku memiliki lebih dari tiga jenis pinjaman. Sebanyak 86% dari yang meminjam mengaku pinjaman-pinjaman itu diperuntukkan bagi kelangsungan usaha mereka. Namun, lantaran banyaknya sumber pinjaman, sebanyak 60% mengaku kesulitan memenuhi kewajiban pembayaran lantaran sulit mengatur kas.
“Mereka sulit mengatur kas lantaran pinjaman menjadi tumpang tindih. Imbasnya, pasti ada yang terpakai untuk konsumsi atau habis untuk sesuatu di luar rencana meminjam,” ujar Ketua Umum Pakindo Slamet Riyadi, di Jakarta, kemarin.
Menurut Slamet, sejatinya secara pemasukan mereka tidak kesulitan untuk membayar pinjaman kredit mikro. Pasalnya, hanya 0,49% dari total responden yang diteliti berpenghasilan kurang dari Rp1 juta. Sebanyak 13,24% berpenghasilan Rp1 juta-Rp2 juta. Rata-rata penghasilan mereka Rp3 juta-Rp4 juta.
Namun, karena terlalu banyak meminjam dari banyak tempat, mereka tidak sadar pinjaman telah menggunung. Tanpa sadar, pinjaman dari mayoritas mereka sudah di atas Rp5 juta.
Slamet menjelaskan fenomena terlalu banyak berutang itu tidak sepenuhnya kesalahan nasabah, tapi juga lembaga keuangan mikro (LKM) yang kurang pruden menyalurkan pinjaman mereka.
Slamet mengurai, dalam satu tahun, kredit mikro tumbuh sampai 140% dengan nasabah tumbuh 97%. Perkembangan yang terlalu pesat itu mencerminkan budaya utang yang tinggi di masyarakat. Di sisi lain, pemasar LKM tentu berkepentingan untuk mengejar targetnya.
“Sebenernya kita lebih concern supaya lembaga keuangan tidak melayani masyarakat secara berlebihan. Tidak memberi pinjaman berlebihan, tidak memberi alternatif bagi masyarakat meminjam kepada banyak lembaga keuangan,” ujar Slamet di sela seminar di Jakarta, Rabu (5/10).
Menurut Slamet, di samping masyarakat yang kurang diedukasi dalam memanfaatkan pinjaman dari lembaga keuangan, hal itu juga disebabkan lemahnya pendataan lembaga keuangan yang dipakai sebagai acuan dalam feasibility penyaluran pinjaman.
Pakindo, yang baru berdiri Agustus lalu, saat ini membangun sistem keuangan mikro untuk memberi identitas tunggal (SID) bagi kreditur di LKM anggotanya dengan tujuan memperbaiki kelemahan pendataan.
“Sehingga kita bisa cek satu nasabah apakah bisa jadi nasabah lain.” (Fathia Nurul Haq/E-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved