Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
KONSIAI inflasi Indonesia belakangan ini dinilai mengindikasikan konsumsi pasar domestik yang melambat. Jika itu kondisi inflasi rendah terus dibiarkan berlarut, dikhawatirkan akan menghambat pencapaian pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan pemerintah.
“Perlu diingat, pertumbuhan ekonomi nasional sangat tergantung pada kinerja konsumsi dalam negeri, bila level konsumsi domestik sedemikian rendah, tentu pertumbuhan akan sulit dipacu,” ujar Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani, Selasa (1/10).
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) diketahui inflasi tahunan (year on year/yoy) Indonesia pada September 2024 sebesar 1,84%, turun dari Agustus 2024 yang tercatat di angka 2,12% (yoy).
Baca juga : Jawa Barat Optimistis Datangkan Investasi Hingga Rp250 Triliun Tahun ini
Kondisi itu, kata Shinta, turut berdampak pada kemauan industri untuk melakukan ekspansi usaha. Pertimbangannya ialah konsumsi akan membuat pasar enggan atau lambat menyerap produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha.
Karena itu, pemerintah diminta untuk bisa menciptakan stimulus-stimulus yang dibutuhkan, baik bagi masyarakat maupun industri untuk bisa meningkatkan kinerja dan daya serap produksi dalam negeri. Salah satu yang dapat dilakukan ialah melalui pelonggaran kuantitatif (quantitative easing) atau pelonggaran suku bunga acuan.
Itu menurut Shinta dapat dibarengi dengan menciptakan terobosan-terobosan kebijakan di sisi peningkatan produktivitas. “Khususnya dalam hal fasilitasi investasi, peningkatan kinerja ekspor, pemberdayaan UMKM dan upaya mentransformasikan sektor ekonomi informal menjadi sektor ekonomi formal,” kata Shinta.
Baca juga : Apindo Apresiasi Keputusan BI Pertahankan Suku Bunga di Angka 5,75%
“Itu perlu agar pekerja di sektor informal memiliki tingkat produktivitas dan kesejahteraan atau daya beli yang lebih baik, sehingga pertumbuhan pasar domestik bisa dipacu agar lebih supportif untuk menciptakan level pertumbuhan yang diinginkan,” lanjutnya.
Pernyataan Shinta itu berkaitan dengan hasil rilis yang disampaikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) terkait deflasi yang terjadi dalam lima beruntun di Tanah Air. Pada September 2024 diketahui Indonesia mengalami deflasi -0,12% secara bulanan (month to month/mtm), lebih dalam dari bulan sebelumnya yang tercatata -0,3% (mtm).
Shinta mengatakan, deflasi itu banyak dikontribusikan oleh kelompok pangan yang masuk dalam komponen harga bergejolak (volatile price) mengalami penurunan harga. “Jadi kami menilai deflasi bulanan yang terjadi tidak perlu terlalu dikhawatirkan karena deflasi pada komponen kebutuhan pangan pokok sebetulnya dapat menciptakan efek positif terhadap konsumsi secara keseluruhan, karena menciptakan potensi kebaikan discretionary income masyarakat,” tuturnya. (N-2)
Garudafood meresmikan beroperasinya pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap berkapasitas 810 kilowatt peak.
PEMERINTAH daerah dan kalangan pebisnis di Jawa Barat optimistis investasi yang masuk ke wilayah ini pada 2024 masih akan tinggi.
Kondisi penurunan juga terjadi berdasarkan data Keluarga Berisiko Stunting (KRS).
Upaya tersebut dilakukan dengan mendorong terciptanya tenaga kerja yang memiliki daya saing tinggi serta berbasis kompetensi, sehingga sesuai dengan kebutuhan dunia usaha
KEPALA Perwakilan Bank Indonesia (BI) DKI Jakarta, Arlyana Abubakar, optimistis pertumbuhan ekonomi Jakarta hingga akhir tahun ini mampu mencapai 4,8% hingga 5,6%.
Para alumni tersebar hingga mancanegara bekerja di industri perhotelan, kapal pesiar, restoran, katering, rumah sakit, toko kue dan roti, penyuplai bahan makanan, dan kewirausahaan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved