Headline
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
PEMERATAAN pasokan listrik menjadi keniscayaan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Namun, seiring penurunan sumber energi fosil dan orientasi terhadap pelestarian lingkungan, proyek kelistrikan nasional harus terus menambah porsi energi baru terbarukan (EBT) dan energi alternatif lainnya.
“Listrik menjadi kebutuhan dasar. Bukan hanya bagi rumah tangga, melainkan juga pembangunan industri. Kebutuhan listrik industri bisa dua kali lipat dari pertumbuhan itu sendiri,” turur Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) saat membuka gelaran Hari Listrik Nasional di Jakarta, kemarin.
Selain mengurai disparitas rasio kelistrikan wilayah barat, tengah, dan timur, pemerintah juga berupaya membangun sistem kelistrikan yang berkelanjutan. “Jadi bukan semata soal persentase elektrifikasi, melainkan juga tentang kualitas keberlanjutan dan sumber energi,” imbuhnya.
Dengan mengacu pada rekam jejak proyek kelistrikan di masa lalu, JK mengingatkan agar seluruh pemangku kepentingan bahu-membahu merampungkan proyek 35 ribu Mw.
“Itu angka keramat yang harus diselesaikan agar tidak mengulangi sejarah dan kesalahan masa lalu,” tuturnya.
Meski tidak terlalu optimististis megaproyek tersebut dapat tuntas pada 2019, JK menyatakan pentingnya pembangunan pembangkit listrik di sejumlah daerah yang selama ini defisit listrik.
“Kita lihat perkembangannya, mungkin (35 ribu Mw) agak molor sedikit. Tapi yang penting di masa depan, tidak ada lagi daerah yang tidak terlistriki,” cetusnya.
Ia pun menekankan tren pengembangan kelistrikan harus mengedepankan sumber bauran EBT yang tersebar di berbagai daerah. Dalam Rencana Usaha Penyedia Tenaga Listrik (RUPTL) 2016-2025, pemerintah telah membuat peta jalan pemanfaatan bauran bahan bakar (fuel mix) yang harus ditingkatkan dari 19,6% di 2016 jadi 25% di 2025.
“Pemanfaatan batu bara contohnya, diproyeksikan 50,3% di 2025. Itu juga upaya agar pembangkit tidak bergantung BBM,” jelasnya.
PLN tetap negosiasi tarif
Terkait dengan penolakan subsidi EBT sebesar Rp1,1 triliun di RAPBN 2017 oleh Badan Anggaran DPR, PT PLN (persero) tetap akan menegosiasikan tarif pembelian listrik dari pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) yang dibangun pengembang listrik swasta (IPP).
“Saya tidak tahu ada subsidinya. PLTMH itu sudah negosiasi langsung. Sekarang ada 16 (PLTMH) tersebar di Sumatra dan Kalimantan,” ujar Direktur Utama PLN Sofyan Basir di kesempatan yang sama.
Dengan mengacu pada perbedaan karakteristik pembangunan PLTMH di tiap wilayah, PLN memasang penawaran tarif tinggi bagi IPP yang mengoperasikan pembangkit di Indonesia Timur. Sementara itu, untuk wilayah Jawa yang sudah surplus listrik, PLN memasang tarif lebih murah.
“Tarifnya kalau di Jawa itu direndahkan, luar Jawa dinaikkan. Di Ambon dan Papua lebih mahal itu (tarif pembeliannya). Hal itu juga sejalan dengan UU Energi, yang harus memberikan subsidi EBT agar dapat dinikmati masyarakat di daerah terpencil atau perbatasan. Jadi kita subsidi silang,” pungkasnya.
Di sisi lain, pemerintah menargetkan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) untuk 201 proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) hingga 2025 bisa mencapai 50% dari kisaran 20%-30% saat ini.
“Nilai investasi paling besar pembangkit itu di turbin. Kita harap semakin banyak investor produksi turbin uap agar jadi local content,” kata Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kemenperin I Gusti Putu Suryawirawan.(E-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved