PEMERINTAH kian melonggar dalam menerapkan kebijakan larangan ekspor mineral mentah. Tenggat penyelesaian pembangunan unit pengolahan mineral (smelter) yang ditetapkan pada 2017 akan ditinjau ulang.
Indikasi pelonggaran kebijakan tersebut ditunjukkan oleh pernyataan Dirjen Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) R Sukhyar, di Jakarta, Rabu (18/2).
Bila mengacu pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 1 Tahun 2014, mulai 2017 pemegang kontrak karya (KK) dan izin usaha pertambangan (IUP) boleh menjual hasil produksi smelter dalam negeri. Bentuk konsentrat yang hingga kini masih boleh diekspor, tiga tahun ke depan harus diolah terlebih dahulu.
Namun, Sukhyar mengatakan pembangunan smelter mungkin belum rampung ketika tenggat tiba. Apalagi, bila terjadi perubahan lokasi, seperti rencana smelter PT Freeport Indonesia, target penyelesaian menjadi mundur.
Dalam rencana awal, Freeport akan membangun smelter di Gresik, Jawa Timur. Tuntutan pemerintah daerah Papua membuat lokasi proyek mungkin bergeser ke Papua.
Dikatakan Sukhyar, pembangunan smelter di Kabupaten Timika, Papua, diperkirakan memakan waktu 52 bulan atau sekitar 4 tahun tiga bulan. Bila pemerintah berkeras mencabut izin ekspor perusahaan yang belum memiliki smelter per 2017, Sukhyar menilai akan terjadi kesia-siaan. Oleh karena itu, pemerintah bisa saja meninjau ulang regulasi.
"Begini, kalau izin ekspor perusahaan dicabut, tentu mereka tidak memiliki pendapatan. Artinya, tidak ada biaya untuk membangun smelter."
Tidak bisa ditoleransi Ketua Komisi VII DPR-RI Kardaya Warnika mengingatkan Undang-Undang (UU) No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) mengamanatkan larangan ekpor mineral mentah mulai 2014. Pemerintah sudah cukup menerapkan kelonggaran untuk memberikan kesempatan pengusaha membangun smelter.
Alasan bahwa penghentian ekspor akan berimplikasi pada mandeknya pembangunan smelter pun dirasa tidak bisa ditoleransi. Dikhawatirkan akan muncul keraguan investor untuk masuk. Pasalnya, investor besar mempertimbangkan kepastian hukum suatu negara untuk memastikan iklim investasi kondusif.
"Pemerintah tidak mengindahkan undang-undangnya, bagaimana mereka mau masuk? Tidak ada yang bisa dipegang," cetus Kardaya ketika dihubungi, kemarin.
Anggota Komisi VII DPR dari Partai NasDem Kurtubi meminta pemerintah tegas memberikan sanksi bila smelter tidak rampung sesuai tenggat. Bila tidak, pengusaha akan cenderung mengulur waktu.
Pengamat energi Marwan Batubara menuturkan pemerintah harus terus mendorong pemegang KK atau konsorsium KK menyelesaikan pembangunan smelter pada 2017. "Jangan dari sekarang mereka sudah dikasih relaksasi. Nanti orang (pemegang KK) tidak akan serius membangun."