Headline

Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.

Risiko Kredit Macet Bisa Berlanjut

Fathia Nurul Haq
01/8/2016 08:35
Risiko Kredit Macet Bisa Berlanjut
()

RASIO kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) rata-rata industri perbankan yang naik signifikan menjadi 3,1% selama semester I 2016 ditengarai bisa menjadi awal dari tren peningkatan NPL selanjutnya. Kebutuhan bank yang tinggi untuk menyalurkan kredit dan mendorong mereka kian agresif akan berimbas pada kenaikan NPL.

"BCA, misalnya, mereka memproyeksikan masih ada kenaikan NPL sampai 4%-4,2%. Ini jauh lebih tinggi daripada NPL tahun-tahun sebelumnya," tutur analis pasar modal NH Korindo Securities Indonesia Reza Priambada saat ditemui di Bali, kemarin (Minggu, 31/7).

Menurut Reza, NPL laiknya konsekuensi yang harus ditanggung perbankan jika mereka memutuskan agresif dalam menyalurkan kredit. Agresivitas tersebut muncul karena perbankan memiliki kebutuhan untuk menyalurkan likuiditas mereka. Kebutuhan itu bahkan diprediksi akan semakin tinggi di awal tahun depan, saat dana repatriasi pengampunan pajak diperkirakan mulai membanjiri likuiditas domestik.

"Kalau tahun depan perbankan makin agresif, saya kira NPL masih bisa meningkat lagi tahun depan. Tapi kita lihat bagaimana upaya perbankan memperbaiki NPL tersebut," sambung Reza.

Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo memandang posisi kenaikan NPL perbankan di angka 3,1% belum mengkhawatirkan.

"Kita memahami bahwa perbankan cukup memperhatikan rasio NPL-nya yang meningkat ke 3,1%. Tapi itu kan gross (kotor), net-nya tidak lebih dari 1,6%. Jadi, NPL meningkat, tapi kita tidak perlu khawatir," kata dia, di Jakarta, Jumat (29/7).

Meski demikian, Agus tetap mengingatkan perbankan, di paruh kedua 2016, risiko kenaikan NPL bisa saja masih membayangi. Penyebabnya ialah kelesuan ekonomi global yang diperkirakan masih mengganjal kegiatan bisnis debitur korporasi dari bank.

Dari sisi sektor penyaluran kredit, Reza melihat industri pertambangan masih menjadi momok bagi bank kendati kondisinya saat ini berangsur pulih. Sebagai kompensasinya, bank mulai melirik segmen menengah dan usaha mikro yang lebih resisten terhadap krisis.

"Mikro bisa jadi pilihan, bank melihat profil nasabah mikro lebih bisa di-manage, terlebih untuk beberapa bank. Mereka akan memanfaatkan jaringan nasabah mikronya untuk penyaluran kreditnya," terang Reza.

Stimulasi moneter
Sementara itu, Chief Economist Mandiri Sekuritas Leo Putra Rinaldi mengatakan arus likuiditas masuk yang mulai membanjir saat ini tidak hanya menuntut bank lebih agresif dalam mengucurkan kredit, tetapi juga menstimulasi transmisi kebijakan moneter lebih cepat.

Apalagi, Leo menyebut bukan hanya dana hasil pengampunan yang mulai masuk, melainkan juga aliran dana dari sentimen pasar terhadap arah kebijakan negara maju dan tren suku bunga negatif yang membuat pasar negara berkembang semakin diminati.

Tekanan terhadap penurunan suku bunga, menurut Leo, sudah tampak pada yield surat berharga negara (SBN) yang perlahan susut setelah sempat menembus 9%.

"Penerapan 7 days repo rate yang menggantikan BI rate juga disambut positif karena BI rate dianggap sudah melenceng dari fungsi utama," tutur Leo, kemarin.(Ant/E-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya