MENTERI Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, sejumlah indikator perekonomian dalam negeri konsisten di berada di level yang cukup positif dan stabil. Hal itu diyakini bakal menjadi modal untuk mendorong berlanjutnya kinerja pertumbuhan ekonomi yang baik pada tahun ini.
"Perbaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia berlanjut dengan konsumsi rumah tangga tetap kuat disertai level inflasi yang lebih rendah dari prakiraan," ujarnya dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Jakarta, Selasa (31/1).
Baca juga: Menteri PPN/Bappenas Dukung Uji Kompetensi Jasa Konsultasi
Berlanjutnya kinerja positif perekonomian tercermin pada berbagai indikator dini. Per Desember 2022, misalnya, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dan Indeks Penjualan Riil (IPR) yang terus memberikan sinyal optimisme.
Selain itu, kata Sri Mulyani, Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur melanjutkan tren ekspansi di level 50,9. Kinerja neraca perdagangan juga terus mencatatkan surplus dengan total surplus di tahun 2022 mencapai US$54,46 miliar, menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah.
"Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2022 diprakirakan mencapai 5,2-5,3%," jelasnya.
Ke depan, lanjut Sri Mulyani, pertumbuhan ekonomi nasional 2023 diprakirakan tetap kuat sejalan dengan penghapusan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), meningkatnya aliran masuk Penanaman Modal Asing (PMA), dan berlanjutnya penyelesaian Proyek Strategis Nasional (PSN), meskipun sedikit melambat sebagai dampak perlambatan pertumbuhan ekonomi global.
Selain itu, inflasi menurun lebih cepat dari yang diprakirakan. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada akhir 2022 tercatat sebesar 5,51% (yoy), jauh lebih rendah dari prakiraan pascapenyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi pada September 2022.
Demikian pula inflasi inti tercatat rendah pada akhir 2022 yaitu sebesar 3,36% (yoy) jauh lebih rendah dari prakiraan BI sebesar 4,61% (yoy).
"Penurunan inflasi IHK dan inti tersebut sebagai hasil koordinasi yang sangat erat antara Pemerintah dan BI melalui respons kebijakan moneter BI yang front loaded, pre-emptive, dan forward looking, didukung dengan pengendalian inflasi bahan pangan bergejolak (volatile food) melalui Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP)," jelas Sri Mulyani.
Ke depan, inflasi inti diprakirakan tetap berada dalam kisaran 3% plus minus 1% pada semester I 2023 dan inflasi IHK kembali ke dalam sasaran 3% plus minus 1% pada semester II 2023.
Sedangkan nilai tukar rupiah menunjukkan penguatan, sehingga mendukung stabilitas perekonomian. Rupiah pada awal 2023 mengalami apresiasi, di mana sampai dengan 27 Januari 2023 menguat 3,89% (ytd) dibandingkan dengan level akhir Desember 2022.
Penguatan rupiah relatif lebih baik dibandingkan dengan apresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya, seperti Malaysia (3,83% ytd), Filipina (2,30% ytd), dan India (1,46% ytd).
"Penguatan tersebut didorong oleh aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik sejalan dengan persepsi positif investor terhadap prospek ekonomi domestik yang tetap baik dengan stabilitas yang terjaga, imbal hasil aset keuangan domestik yang tetap menarik, dan ketidakpastian pasar keuangan global yang sedikit mereda," pungkas Sri Mulyani. (OL-6)