Headline
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
MALAM itu, sekitar pukul 18.00 WIB, langit sudah pekat menyelimuti Dusun Bambangan
DIREKTUR Eksekutif Indonesia Services Dialogue (ISD) Devi Ariyani mengatakan bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) berpotensi mendisrupsi potensi pertumbuhan ekonomi digital.
Hal ini merujuk pada Pasal 32A UU HPP yang menyatakan bahwa Menteri Keuangan menunjuk pihak lain untuk melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran dan/atau pelaporan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Setidaknya ada 3 dampak yang akan timbul akibat aturan ini. Pertama platform atau pelaku usaha karena mereka harus siapkan sistem dan melaporkan pajak yang dipungut. Kedua kepada merchant yang ada di platform. Ketiga pemerintah," ungkapnya dalam bincang-bincang ISD bertajuk Marketplace sebagai Pemungut Pajak (PPN & PPh) di Jakarta, Rabu (21/9).
Lebih lanjut, Devi menegaskan bahwa UU HPP khususnya terkait pengenaan pajak bagi platform marketplace tidak dapat diaplikasikan secara terburu-buru. Pasalnya, hal ini dapat menimbulkan permasalahan dalam penerapannya.
Dari sisi marketplace, menurut dia, saat ini hubungan antara mereka dengan merchant adalah kemitraan, bukan kepegawaian yang bisa dipungut pajaknya.
"Ini mengubah tatanan saat ini. Marketplace ini juga tidak memiliki visibilitas dari mercant mana yang bisa diterapkan PPN. Mereka juga tidak tahu mana yang sudah PKP (Pengusaha Kena Pajak) dan belum. Ketika kesadaran pajak belum ada dan mau diterapkan, akan ada masalah di merchant. Dari pemerintah kalau ada kelebihan pembayaran pajak akan jadi seperti apa. Jadi dampaknya perlu diperhatikan," ujar Devi.
Di tempat yang sama, Kepala Peneliti Indonesian Center for Tax Law (ICTL) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Adrianto Dwi Nugroho menambahkan bahwa Pasal 32A UU HPP menunjuk tiga pihak untuk pemotongan, pemungutan, penyetoran dan/atau pelaporan pajak yakni marketplace, fintech dan content creator.
Menurutnya, dimensi dari aturan ini masih prematur karena status dari merchant di marketplace yang rata-rata merupakan pelaku UMKM belum dapat ditentukan apakah termasuk PKP atau bukan.
"Jadi apakah seller di marketplace ini layak atau tidak dipungut pajak karena kan harus berstatus PKP jika akan dikenai pajak," kata Andrianto.
Selain itu, banyak pelaku UMKM yang bergabung di lebih dari satu marketplace. Hal ini juga akan menimbulkan multitarif dalam pengenaan pajak kepada pelaku UMKM.
"Aturan ini belum siap diterapkan. Perlu pendalaman dan perlu perubahan dalam norma baik dalam PPh atau PPN," tuturnya.
Andrianto menekankan bahwa jangan sampai Pasal 32A UU HPP ini belum memiliki fondasi yang kuat sehingga tidak akan menjadi regulasi yang bertahan lama.
"Jadi range permasalahannya cukup besar dan luas. Harus dijabarkan satu per satu sebelum diterapkan. Kalau belum kuat fondasinya bisa jadi enggak sustain. Dulu juga pernah ada regulasi soal PMSE diterbitkan pada Desember 2018. Tapi pada 2019 dicabut. Kadang pemerintah bikin regulasi terburu-buru dan sulit diterapkan di lapangan sehingga nanti colapse sendiri," pungkas Andrianto. (E-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved