Headline
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
HUNIAN berimbang termaktub dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Sejak diundangkan, konsep hunian berimbang tidak berguna karena tidak pernah bisa dilaksanakan secara efektif. Pemerintah pun menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman, yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 25 Mei lalu. PP tersebut dimaksudkan untuk mempertegas kewajiban pengembang untuk memenuhi hunian berimbang dengan pola 1:2:3. Artinya, pengembang yang membangun satu unit rumah mewah harus membangun dua unit rumah menengah serta tiga unit rumah sederhana. Dirjen Penyediaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-Pera) Syarif Burhanuddin, ketika dihubungi, Rabu (15/6), mengakui PP Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman akan disempurnakan melalui Peraturan Menteri (Permen) PU-Pera.
Permen PU-Pera akan membahas petunjuk teknis pelaksanaan penyediaan perumahan, termasuk petunjuk pelaksanaan hunian berimbang. "Sudah dibentuk tim penyusun revisi permen sebagai dasar rujukan teknis pembuatan peraturan daerah yang nantinya menjadi landasan pelaksanaan hunian berimbang di daerah-daerah. Jadi PP ini belum otomatis bisa dilaksanakan karena aspek pelaksanaannya berada pada perda(peraturan daerah) yang merujuk pada Permen (PU-Pera) yang sedang direvisi ini nantinya." Terkait dengan sanksi, pemerintah mengancam akan memberikan sanksi administrasi mulai peringatan tertulis, pembekuan kegiatan pembangunan, pembekuan IMB, pencabutan IMB, hingga pembongkaran bangunan. Pengembang diancam denda Rp1 miliar hingga Rp10 miliar. Ia berjanji akan mengundang para pengembang untuk berdiskusi membahas Permen PU-Pera terkait dengan hunian berimbang. Permen tersebut ditargetkan akan rampung paling lama pada akhir tahun ini. "Selama ini sebenarnya sudah sering dibahas dan berdiskusi antara pengembang dan pemerintah, tetapi tidak spesifik membahas hunian berimbang."
Ada yang salah
Di sisi lain, Direktur Housing Urban Development (HUD) Institute Zulfi Syarif Koto justru menilai PP 14 Tahun 2016 tidak memperjelas UU Nomor 1 Tahun 2011. "PP ini kurang jelas hanya menyontek apa yang sudah ada di UU saja," ujarnya. Sebenarnya, menurut Zulfi, HUD Institute sangat mendukung pelaksanaan hunian berimbang. Namun, sejauh pengamatannya, aturan mengenai hunian berimbang tidak pernah efektif sejak era Orde Baru hingga saat ini. "Tentu ada yang salah, apakah di aturannya ataukah di sistemnya, ataukah di pelaksananya. HUD melihat justru salah di regulasi yang kurang pas. Walaupun tujuannya sangat baik, kalau regulasinya tidak pas, di lapangan tidak akan jalan." Oleh karena itu, Zulfi menjelaskan pihaknya sedang melakukan kajian mendalam terkait dengan PP No 14 Tahun 2016. "Setelah Lebaran kita akan tentukan langkah apakah akan mempertanyakan PP ini kepada Kementerian PU-Pera, Kemenkum dan HAM, serta MA, atau mungkin mengajukan uji materi UU Nomor 1 Tahun 2011 kepada MK terkait dengan pelaksanaan hunian berimbang."
Ia berpendapat tidak perlu ada penetapan komposisi 1:2:3 untuk hunian berimbang. Lebih baik serahkan kepada pemerintah daerah (pemda) karena pemda lebih paham kebutuhan perumahan di daerah. "Biarkan diatur pemda komposisinya di dalam aturan tata ruang wilayah." Di sisi lain, Wakil Ketua Umum Realestat Indonesia (REI) Bidang Komunikasi Theresia Rustandi menilai yang dibutuhkan dalam pengembangan perumahan bukan PP Nomor 14/2016, melainkan revisi UU Nomor 1/2011. "Aturan itu harus direvisi agar bisa berjalan efektif di lapangan dan sangat perlu untuk berkoordinasi dengan pemda," ujarnya. Pada saat perumusan UU tersebut, aku Theresia, pemerintah tidak melibatkan pengembang.
Kalaupun dilibatkan, masukan dari pengembang tidak diakomodasi dalam penyusunan beleid. Walhasil, aturan yang ditetapkan tidak berjalan efektif karena pengembang merasa sulit untuk melaksanakannya di lapangan. "Aturan hunian berimbang harusnya dilakukan melalui pembuatan zonasi wilayahnya oleh pemda sehingga perencanaan pembangunan dapat dilakukan secara menyeluruh di wilayah tersebut." Menurutnya, difinisi terbaik dari hunian berimbang bukan ditentukan berdasarkan harga rumah, melainkan berdasarkan pada luasan rumah. "Definisi 1:2:3 harus ditinjau ulang karena harus bisa diterapkan secara objektif di seluruh wilayah Indonesia." (S-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved