Headline
RI-AS membuat protokol keamanan data lintas negara.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
MORATORIUM bea masuk untuk transmisi elektronik diharapkan dapat diperpanjang oleh World Trade Organization (WTO). Dengan begitu ekonomi digital maupun aktivitas perdagangan jasa Indonesia dapat bertumbuh secara optimal.
"Moraturium itu sudah habis masanya dan akan dibicarakan untuk diperpanjang. Kalau moraturium itu tidak diteruskan, artinya negara-negara bisa mengenakan bea masuk terhadap digitaly delivered services," ujar Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies Yose Rizal Damuri dalam sebuah diskusi bersama awak media, Selasa (14/6).
Diketahui, negara-negara anggota WTO pada 2017 sepakat membebaskan bea masuk atas barang impor yang menggunakan transmisi elektronik hingga 2019. Pemerintah Indonesia kemudian merespons hal itu dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 17/2018 tentang Penerapan Klasifikasi Barang dan Pembebasan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor.
Dalam PMK itu, pemerintah mengatur tarif bea masuk barang impor dengan transmisi elektronik sebesar 0%. Yose menilai, ketentuan itu bisa saja dapat berubah dan Indonesia menaikkan tarif bea masuk.
Bila itu dilakukan, Indonesia justru akan kehilangan potensi pertumbuhan perekonomian. Pasalnya, potensi pengenaan bea masuk hanya akan memberi dampak 0,07% pada pendapatan negara. Angka itu menurut Yose, tak layak untuk diperjuangkan.
Alasannya, penerapan bebas masuk atas barang impor dari transmisi elektronik dapat menjadi daya tarik bagi dunia usaha, utamanya usaha menengah dan rintisan. Sebab, impor jasa melalui transmisi eleltronik amat berkaitan dengan aktivitas bisnis di era digital ini.
"Ada yang namanya cross border data free flow, penentu pelayanan jasa digital ini bisa tersampaikan. Data ini bisa disampaikan secara lebih bebas. Ini yang salah satunya diangkat dalam G20," kata Yose.
Data yang dimaksud ialah segala jenis aplikasi, data penyimpanan, hiburan digital yang diproduksi di luar negeri dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Penerapan bea masuk atas barang/jasa itu juga dinilai akan gamang. Sebab, sulit untuk menentukan indikator penentu besaran tarif.
Indonesia, sebut Yose, sedianya juga mengekspor jasa melalui transmisi elektronik berupa animasi, permainan dan bentuk lainnya. Bila Indonesia menerapkan bea masuk, dikhawatirkan negara pengimpor layanan digital dari Indonesia juga akan menerapkan hal yang sama.
"Dan kalau ada bea masuk, itu akan lebih mahal dan kemungkinan kita tidak akan kompetitif. Ini sedang dibahas dalam konferensi tingkat menteri WTO di Jenewa," imbuh Yose.
"Kalau (moraturium) tidak diperpanjang, yang rugi bukan hanya konsumen, tapi juga para startup yang menggunakan jasa digital juga merugi. Karena banyak startup yang menggunakan cloud, software buatan luar negeri. Ini akan meningkatkan biaya," tambahnya.
Harapan yang sama juga terlontar oleh Direktur Eksekutif Indonesia Services Dialogue (ISD) Council Devi Ariyani. Dia mengungkapkan, penerapan bea masuk akan menambah beban produksi perusahaan penyedia jasa layanan digital. Hal itu dinilai menjadi penghambat bagi pertumbuhan sektor yang sedang berkembang tersebut.
Studi dari ISD 2019 menunjukkan, pengenaan bea masuk untuk transmisi elektronik di Indonesia dapat menimbulkan dampak negatif yang signifikan. Bahkan jika bea masuk ditaruh pada tingkatan 0%, bisnis masih harus mengeluarkan biaya administrasi dan pelaporan.
"Hal ini akan menimbulkan biaya kepatuhan yang cukup tinggi bagi pelaku usaha," kata Devi.
Dia menambahkan, sektor teknologi informasi Indonesia belum berkembang dengan baik, dibuktikan oleh status Indonesia yang masih menjadi importir bersih barang/jasa teknologi informasi. Impor itu termasuk Intangible Digital Goods yang dipergunakan sebagai input produktif dalam kegiatan ekonominya. Sehingga perlu dipertimbangkan hilangnya potensi ekonomi serta beban ekonomi yang muncul.
Jika bea masuk diterapkan maka yang akan paling terdampak adalah usaha rintisan dan UMKM Indonesia, yang selama ini mendapatkan manfaat dari kehadiran platform dan produk digital. Sebab, hampir semua produk digital saat ini menggunakan transmisi elekronik internasional, maka akan banyak sekali produk yang berpotensi terkena bea masuk.
"Ini termasuk perangkat lunak, system operasi, penggunaan platform e-commerce maupun fintech, ataupun akses ke konten digital," kata Devi.
Selain itu, perluasan objek Bea Meterai yang diatur dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 10/2020 tentang Bea Meterai (UU BM) bagi pelaku usaha digital ekonomi dinilai akan mengakibatkan tambahan biaya langsung serupa pajak serta biaya kepatuhan yang harus dipenuhi.
Hal itu, tambah Devi, dapat menimbulkan potensi distorsi kegiatan usaha, terutama bagi UMKM yang perkembangannya sangat terbantu dengan kehadiran e-commerce. "Daripada diberikan hambatan sebaiknya justru dibantu agar dapat terus menjadi enabler bagi perkembangan sektor jasa ke depan," pungkas Devi. (E-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved