Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
KEBIJAKAN dolar kuat (strong dollar policy) yang dilakukan Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed) akan berimbas pada beban biaya utang sejumlah negara dunia. Karenanya pemerintah Indonesia akan menerapkan pengelolaan kebijakan Surat Utang Negara (SUN) secara pruden demi menjaga keberlanjutan fiskal.
"Kita perlu melakukan antisipasi kepada pengelolaan SUN Indonesia," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat menyampaikan tanggapan atas pandangan fraksi-fraksi DPR mengenai Asumsi KEM-PPKF RAPBN 2023 pada Rapat Paripurna DPR ke-24 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2021 – 2022, Selasa (31/5).
Baca juga: Prepp Scooter Club Berkumpul Gelar Kampanye Take Over Jakarta
Dia menyampaikan, pemerintah akan konsisten mengupayakan peningkatan suku bunga tetap bisa dijaga. Hal itu dilakukan dengan tetap menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan beban biaya utang dalam jangka panjang.
Selain itu, pengembangan pasar keuangan juga dilakukan secara konsisten untuk mencapai pasar Surat Berharga Negara (SBN) yang semakin dalam dan stabil, aktif, likuid, dan dapat memberikan imbal hasil yang relatif kompetitif bagi pemerintah dan investor.
"Kemenkeu bersama-sama dengan anggota KSSK terus berkomitmen memperkuat koordinasi dan sinergi di dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dan mengantisipasi meningkatnya volatilitas suku bunga serta pergerakan nilai tukar rupiah pada kisaran yang ditargetkan agar memberikan kepastian pada pelaku ekonomi nasional," terang Sri Mulyani.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menyebutkan, upaya itu akan dilakukan lantaran perkembangan nilai tukar rupiah dan suku bunga SBN tidak bisa dilepaskan dari eskalasi risiko ketidakpastian perekonomian global yang tinggi dan ketahanan exsternal balance Indonesia.
Sejak meningkatnya konflik geopolitik di Eropa, munculnya disrupsi di sisi supply menjadi semakin parah sehingga mendorong lonjakan harga komoditas. Hal tersebut menaikan tekanan inflasi dan cenderung kuat di negara maju dan berkembang.
Respons atas lonjakan inflasi disikapi oleh ototritas moneter di berbagai negara dengan mengambil langkah pengetatan kebijakan moneter yang cenderung agresif, terutama di AS.
Kebijakan yang diambil oleh The Fed antara lain dengan menghentikan quantitative easing, berarti likuiditas dolar akan meningkat, diikuti dengan kenaikan suku bunga acuan serta pengurangan balance sheet secara signifikan yang akan berpotensi menimbulkan keketatan likuiditas global.
"Kombinasi kebijakan suku bunga yang naik dan likuiditas yang meningkat telah mendorong peningkatan yield surat utang US Treassury yang juga akan mempengaruhi seluruh negara-negara di dunia," jelas Sri Mulyani.
"Hal ini berpotensi menciptakan volatilitas pasar keuangan global dan mendorong keluarnya arus modal seiring dengan peningkatan risiko di berbagai negara-negara berkembang. Fenomena ini akan membuat biaya utang atau cost of fund menjadi lebih tinggi di seluruh dunia," tambahnya. (OL-6)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved