Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
PENGAMAT BUMN dari Universitas Indonesia Toto Pranoto berpandangan, saat ini Garuda Indonesia berada di situasi terberat yang pernah dialami maskapai nasional tersebut. Menurutnya, hal ini akibat warisan atau salah urus manajemen sebelumnya.
Perusahaan pelat merah itu memiliki utang besar senilai Rp70 triliun. Pada tahun lalu, Garuda mengalami kerugian sebesar US$2,5 miliar atau Rp36,2 triliun akibat pandemi covid-19.
Baca juga: Bahlil Optimistis RI Mampu Jadi Pemain Besar Baterai Listrik di Dunia
"Garuda Indonesia memang masuk pada situasi terburuk yang pernah dialami. Era yang sama saat Robby Djohan (mantan direktur utama Garuda) masuk di sekitar awal 2000-an, menghadapi Garuda Indonesia yang terpuruk karena salah urus (manajemen)," sebut Toto dalam rilis resmi, Kamis (4/11).
Selain anggapan salah urus manajemen, masalah Garuda Indonesia diperparah dengan situasi pandemi yang memberikan dampak signifikan terhadap keberlangsungan usaha industri penerbangan dunia.
Toto mengatakan, sejauh ini, langkah terbaik dalam penyelamatan bisnis maskapai itu ialah melalui negosiasi ulang dengan para lessor atau penyewa pesawat. Hal tersebut, kata Toto, yang memang tengah diperjuangkan Garuda saat ini.
"Hal itu membutuhkan waktu panjang karena ada puluhan lessor. Garuda Indonesia butuh upaya restrukturisasi yang radikal terkait negosiasi dengan lessor dan kreditur,” ungkapnya.
Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga dalam rekaman video Senin (25/10) pun membeberkan, manajemen Garuda sejak masa lalu dianggap tidak beres dalam hal penyewaan pesawat, yang mana harga yang dipatok lessor ke Garuda tercatat paling tinggi di dunia, yakni mencapai 60%. Alhasil, kondisi itu membebani kinerja keuangan perseroan.
"Kita tahu kondisi Garuda saat ini karena dulu itu kan ugal-ugalan dari penyewa-penyewa pesawat yang dilakukan oleh pihak Garuda. Ugal-ugalan ini yang membuat kondisi Garuda seperti ini dan diperparah dengan kondisi korona. Mereka punya pondasi yang sangat jelek," tudingnya.
Di satu sisi, pemerhati penerbangan dari Jaringan Penerbangan Indonesia (Japri) Gerry Soedjatman berpendapat, tidak mudah untuk menggantikan Garuda Indonesia dengan Pelita Air, sebagai maskapai nasional. Opsi penggantian tersebut sempat dilontarkan oleh Kementerian BUMN.
"Posisi Garuda Indonesia tidak mudah digantikan dengan maskapai seperti Pelita Air. hal tersebut lantaran Garuda Indonesia memiliki sarana prasarana yang sangat besar termasuk jumlah pesawat dan rute yang dilayani yang tidak sebanding dengan Pelita Air saat ini," tutupnya. (OL-6)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved