Jaga Daya Saing, Pemerintah Didorong Realisasikan Pajak Karbon

Medcom.id
12/9/2021 15:03
Jaga Daya Saing, Pemerintah Didorong Realisasikan Pajak Karbon
.(medcom)

PEMERINTAH didorong segera merealisasikan penerapan nilai ekonomi karbon atau pajak karbon. Ini sebagai upaya menjaga daya saing industri Indonesia di dunia.
 
Pendiri Prakarsa Jaringan Cerdas Indonesia (PJCI) Eddie Widiono memaparkan pasar dunia saat ini sudah bergerak dalam pengembangan ekonomi rendah karbon di segala lini. Tidak berhenti pada pasar domestik masing-masing negara, pergerakan ekonomi rendah karbon juga sudah mulai menjadi pertimbangan dalam hubungan perdagangan bilateral dan multilateral.
 
"Uni Eropa misalnya, secara resmi telah memulai diskusi dengan Parlemen Eropa mengenai implementasi Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM)," kata Eddie dalam podcast bertajuk Pro dan Kontra RUU KUP Pajak Karbon untuk Indonesia, Sabtu, 11 September 2021.  

Menurutnya, produk-produk yang masuk ke pasar Uni Eropa akan mengalami penyesuaian harga sesuai dengan tingkat emisi karbon yang terkandung dalam produk tersebut. Penyesuaian juga menyangkut apakah negara asal produk tersebut sudah mengatur nilai ekonomi karbon.
 
Eddie menegaskan nilai ekonomi karbon penting bagi daya saing Indonesia. Menuruntya, Indonesia tidak memiliki keleluasaan untuk menunda penerapan nilai ekonomi karbon.
 
Konsep daya saing sebuah negara di pasar global saat ini mengalami pergeseran. Daya saing tidak melulu ditentukan oleh kualitas atau harga dari barang dan jasa, tetapi sudah memperhitungkan biaya eksternalitas yang ditimbulkan dari jejak emisi karbon barang dan jasa tersebut.
 
"Menunda penerapan nilai ekonomi karbon dengan tujuan menjaga daya saing Indonesia sebenarnya kontraproduktif dalam kerangka berpikir daya saing global saat ini," kata dia.
 

Podcast yang digagas PCJI ini diselenggarakan dua sesi. Masing-masing melibatkan Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Paul Butar Butar; Kepala Seksi Industri Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Joko Tri Haryanto; Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa; dan Dicky Edwin Hindarto dalam kapasitas konsultan energi.
 
Paul Butar Butar mengamini penundaan atas pengenaan nilai ekonomi karbon akan berdampak negatif. Terutama terhadap daya saing industri Indonesia di pasar dunia.
 
"Penggunaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) di sektor ketenagalistrikan serta inisiatif-inisiati rendah karbon yang digunakan di industri-industri lain merupakan contoh nyata pergerakan menuju ekonomi rendah karbon,” ujarnya.  
 
Joko Tri Haryanto mengambil contoh Amerika Serikat. Negara Paman Sam itu memulai pembahasan pertaturan Carbon Border Adjustment yang bakal diterapkan mulai 2024.  
 
Dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, Senin, 29 Juli 2021, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan rencana menerapkan pajak karbon pada 2022. Pajak karbon menjadi salah satu rencana yang tertuang dalam Revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang dibahas bersama DPR.
 
Tarif pajak karbon disampaikannya masih didiskusikan hingga ke ranah internasional agar praktik penerapan harga lebih seragam. "Ini sebagai salah satu pembahasan kami, pimpinan dari koalisi Menteri Keuangan untuk perubahan iklim, bersama Finlandia membahas mengenai bagaimana praktik dari penerapan harga karbon yang lebih seragam sehingga menimbulkan kepastian," ucapnya.  
 
Perubahan iklim telah menjadi isu krusial nasional maupun global. Sejumlah negara-negara di dunia berupaya mengurangi dampak dari perubahan iklim dengan melahirkan Konvensi Kerangka Kerja tentang perubahan iklim atau The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang telah disepakati di Rio de Janeiro pada 1992.
 
Indonesia sebagai salah satu negara anggota United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) menyatakan ikut berkomitmen menurunkan tingkat emisi sebanyak 29 persen hingga 41 persen pada 2030 melalui kerja sama internasional yang dituangkan dalam dokumen Nationally Determined Contributions (NDC) sesuai dengan Persetujuan Paris atau Paris Agreement. Secara bersamaan pula, Indonesia berkomitmen meningkatkan ketahanan terhadap dampak perubahan iklim.
 
Terdapat lima sektor utama yang menjadi fokus penurunan emisi gas rumah kaca dalam NDC ini, yaitu limbah, energi dan transportasi, hutan dan lahan termasuk gambut, industri, serta pertanian. Saat ini, pajak karbon di Indonesia masih dalam proses pengajuan dan pembahasan.
 
Pemerintah Indonesia tengah mempersiapkan dua skema atau alternatif yang dapat dijadikan kebijakan untuk pemungutan pajak karbon di Indonesia dengan tujuan memaksimalkan pendapatan negara seiring dengan adanya pengurangan emisi gas rumah kaca. Rencana tersebut tercantum dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2022.
 
Dua skema dicanangkan pemerintah untuk kebijakan pajak karbon. Skema pertama yaitu mengadakan pungutan pajak karbon dengan menggunakan instrumen perpajakan yang sudah tersedia saat ini.
 
Skema kedua yakni membentuk suatu instrumen baru, yaitu adanya kebijakan tersendiri mengenai pajak karbon di Indonesia. Namun, untuk instrumen baru ini diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang saat ini tengah direvisi. (J-1)
 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Aries
Berita Lainnya