Headline
Bansos harus menjadi pilihan terakhir.
SISTEM transaksi digital pada perbankan masih dianggap rentan peretasan. Hal itu bisa menjadi bahaya laten di tengah tren masyarakat saat ini menuju digitalisasi.
“Mengamankannya harus serius, jangan berasumsi kalau sistem itu hanya infrastruktur, server, jaringan ke perangkat pengguna. Mulai hardware, software, sampai brainware juga termasuk sistem. Jangan dipotong-potong teknologinya saja, sisanya tidak,” cetus Ketua Tim Koordinasi dan Mitigasi Bidang Ketahanan dan Keamanan Informasi Cyber Nasional Kemenko Polhukam, Gildas Deograt Lumy, dalam seminar di Jakarta, Selasa (29/3).
“Itu seperti rantai besi, tapi salah satunya pakai tali rafia,” ia menambahkan.
Rentannya sistem keamanan digital membuat risiko peretasan, seperti yang dialami bank sentral Bangladesh baru-baru ini dan menyebabkan kehilangan US$81 juta, besar terjadi di Indonesia.
Gildas menceritakan, peretasan transaksi digital di perbankan Indonesia sempat terjadi awal tahun lalu. Ia lalu mendapati sistem pengamanan perbankan mudah diretas.
Namun, sampai sekarang ia melihat belum banyak perbaikan untuk hal tersebut. Lebih lanjut, Gildas menilai transaksi di internet banking relatif lebih aman ketimbang aplikasi. Pasalnya, peretasan via aplikasi lebih masif dan keamanannya bergantung pada kekuatan sistem perbankan masing-masing.
Di forum sama, Ketua Dewan Audit merangkap anggota Dewan Komisioner OJK Ilya Avianti berencana untuk menginventarisasi persoalan keamanan transaksi digital yang dihadapi industri perbankan. Namun, ia menolak jika persoalan keamanan juga dianggap termasuk dalam tugas OJK. “OJK mengatur supaya mereka berbisnis dengan aman, prudent, kita tidak atur cyber-nya, tapi dia harus punya pengendalian yang cukup. Di Indonesia yang atur cyber di Kemenkominfo,” kata Ilya. Namun, ia mengatakan OJK bisa saja merilis peraturan terkait jika memang dibutuhkan. (Fat/E-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved