Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Perusahaan tambang PT Freeport Indonesia (PTFI) kembali tidak memenuhi janji kontrak pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) di Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE), Gresik, Jawa Timur, yang seharusnya ditargetkan selesai pada 2023.
PTFI beralasan adanya pemotongan anggaran operasional McMoran, pemegang saham PTFI dan pandemi. Alhasil, PTFI mengajukan relaksasi pembangunan smelter tersebut padahal target pembangunan masih memiliki waktu 3 tahun lagi.
Berdasarkan sales and purchase agreement (SPA) antara PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dengan PTFI dan Freeport McMoran yang ditandatangani pada 27 September 2018, pembangunan smelter merupakan salah satu syarat bagi Freeport untuk mendapatkan perpanjangan kontrak 2X10 tahun, dengan perubahan skema dari kontrak karya (KK) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).
Dalam kontrak tersebut dicantumkan jika pembangunan smelter tidak dapat diselesaikan sesuai taget pada 2023, tidak berlebihan dikatakan bahwa Freeport melakukan wanprestasi atau ingkar janji.
Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, mengungkapkan ingkar janji Freeport dalam pembangunan smelter tidak hanya kali ini saja, namun pernah dilakukan sebelumnya.
Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, mewajibkan perusahaan tambang membangun smelter di dalam negeri paling lambat pada 2014. Namun, PTFI tidak memenuhi kewajiban smelterisasi, yang diwajibkan oleh UU tersebut.
"Selain itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tidak mengizinkan ekspor konsentrat, PTFI berjanji akan membangun smelter asal dizinkan ekspor konsentrat. Namun, setelah Menteri ESDM mengizinkan, Freeport ingkar janji dalam membangun smelter. Bahkan, setelah 2 tahun sejak SPA disepakati, progress pembangunan smelter di Gresik baru mencapai 5,8%,” kata Fahmy kepada Media Indonesia, Jumat (24/7).
Menurut Fahmy, PTFI memang lebih untung mengekspor konsentrat daripada ekspor tembaga yang diolah di smelter dalam negeri. Menurut Direktur Utama Inalum, Orias P Moedak, bahwa nilai tambah ekspor konsentrat bagi perusahaan bisa mencapai US$40 miliar dolar.
Sedangkan, nilai tambah ekspor tembaga yang diolah di smelter dalam negeri hanya sebesar US$12 miliar.
"Padahal, nilai tambah dan multiplier effect pembangunan smelter bagi perekonomian Indonesia. Selain produk turunan, antara lain emas, perak, kabel dan asam sulfat, yang memberikan nilai tambah, juga membuka lapangan pekerjaan," ujar Fahmy.
Fahmy menilai pengajuan relaksasi pembangunan smelter mengindikasikan bahwa tidak ada perubahan sama sekali terhadap pengelolaan PTFI, kendati Indonesia sudah menguasai mayoritas 51% saham.
"PTFI tetap saja lebih mementingkan keuntungan korporasi ketimbang keuntungan perekonomian bangsa. Apalagi menjadikan pengusahaan tambang untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai amanah konstitusi tampaknya masih jauh panggang dari api," ucapnya.
Berdasarkan SPA 2018, track record Freeport cenderung wanprestasi, dan pertimbangan nilai tambah bagi perekonomian Indonesia dalam pembangunan smelter. Fahmy menuturkan Menteri ESDM harus menolak pengajuan penundaan pembangunan smelter dan mengharuskan PTFI untuk menyelesaikannya sesuai target pada 2023.
Sebelumnya, PTFI telah memangkas modal belanja hingga US$800 juta karena imbas dari wabah pandemi covid.
Padahal kontrak pembangunan smelter masih berlangsung dengan target 21 Desember 2023. Smelter yang bertempat di Gresik tersebut direncanakan berkapasitas dua juta ton konsentrat, sementara kapasitas smelter anoda slime sebesar 6 ribu ton. (E-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved