Polemik mengenai kelanjutan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) generasi 1 yang akan jatuh tempo kembali bergulir seiring dengan pemberlakuan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
Dengan adanya Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, para pemilik PKP2B bisa mendapat perpanjangan otomatis dengan beralih pada skema Ijin Usaha Pertambangan (IUP). Padahal sebelumnya, berdasarkan regulasi yang masih berlaku saat ini lahan PKP2B yang telah habis wajib menjadi Wilayah Pencadangan Negara (WPN). Penerbitan kembali izin PKP2B pun harus dilelang terlebih dahulu kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebelum diperebutkan swasta. Luas lahan izin operasi produksi batubara yang diperpanjang pun hanya dibatasi seluas 15 ribu hektare.
Anggota Komisi VI DPR-RI dari Frasi PAN Eddy Soeparno menyebut pembahasan peraturan soal PKP2B diharapkan mampu meningkatkan iklim investasi di Indonesia sehingga dapat menarik banyak investor.
"Selain memastikan kepastian usaha bagi investor, di lain pihak kita juga harus mengutamakan juga masalah penerimaan negara," ungkap Eddy di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (22/1)
Sejauh ini setidaknya terdapat 3 opsi terkait kepastian perpanjangan kontrak tambang PKP2B. Pertama, melalui RUU Minerba, yang sampai sekarang revisinya masih dibahas di DPR. Kedua, melalui revisi ke enam PP 23 tahun 2010 yang diinisasi Kementerian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dan ketiga melalui RUU Omnibus Law. Eddy menyebut, proses perpanjangan otomatis kontrak PKP2B harus didasari pada alasan yang valid.
"Dalam artian bahwa jika memang terjadi perpanjangan otomatis untuk para mantan pemilik PKP2B itu, harus ada dasar yang valid. Salah satunya ialah optimalisasi penerimaan negara," ujarnya.
Eddy melanjutkan, jika memang ijin usaha pertambangan batubara dapat diperpanjang secara otomatis kepada perusahaan tambang pemilik PKP2B hal tersebut harus dapat menjamin meningkatkan penerimaan keuangan negara. Seperti salah satunya dengan cara penerapan royalty yang lebih tinggi kepada perusahaan tambang batu bara.
"Terhadap mereka yang memperpanjang ijin usahanya terutama untuk penambangannya. Itu dikenakan royalti yang lebih tinggi misalnya. Itu salah satu aspek yang mungkin bisa kita kaji," paparnya.
Tambang Ilegal Marak Diduga Ada Backingan
Tidak hanya itu, pembahasan peraturan PKP2B juga harus mementingkan pendalaman aspek teknis penambangan terhadap lingkungan. Menurut Eddy, banyak persayaratan yang harus dikaji secara mendalam sebelum pemberian izin perpanjangan otomatis lahan tambang batubara diberikan kepada para pemilik PKP2B.
"Basisnya tapi harus memberikan optimalisasi penerimaan negara dan yang kedua memang kita harus memahami bahwa Indonesia harus memberikan iklim yang menarik bagi investasi," ujarnya.
Untuk diketahui, pemilik PKP2B yang akan jatuh tempo pada tahun ini adalah Arutmin Indonesia, milik kelompok usaha Bakrie. Adapun ijin operasi PT Tanito Harum yang kontraknya berakhir sejak Januari 2019 dan sempat diperpanjang oleh Kementerian ESDM, akhirnya kembali dicabut sesuai dengan rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (E-1)