Headline

Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.

Fokus

Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.

Pembangunan Kantor Presiden di Ibu Kota Baru Tak Perlu Dana Asing

Antara
17/1/2020 13:43
Pembangunan Kantor Presiden di Ibu Kota Baru Tak Perlu Dana Asing
Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan di 'Entry Meeting' Pemeriksaan Laporan Keuangan Kementerian di Kantor BPK.(ANTARA/M Risyal Hidayat)

MENTERI Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan Indonesia enggan menggunakan dana asing untuk pembangunan kantor presiden dan kantor pemerintahan di Ibu Kota Negara (IKN) baru. Sekalipun ada tawaran pendanaan dari Chief Executive Officer SoftBank Mobile, Masayoshi Son.
 
"Kita tidak mau pembangunan kantor presiden dan kantor pemerintah dibayarin orang. Kita mau pakai APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara)," tegas Luhut di Jakarta, Jumat (17/1).
 
Sebelumnya, lanjut Luhut, Masayoshi Son menanyakan kebutuhan dana untuk pembangunan IKN baru, sekaligus menyatakan kesediaan untuk menyuntikkan dana. Namun, Luhut mengatakan bahwa Indonesia tidak menginginkan hal tersebut. Sebab, pembangunan kedua klaster itu merupakan simbol kebanggaan Indonesia di mata internasional.

Baca juga: Ibu Kota Baru Perlu Konsep Forest City

"Saya bilang kebutuhannya yang dihitung itu US$ 40 miliar. Dia bilang biar dari saya itu dananya. Tapi, kita tidak mau. Kita harus bangga jadi orang Indonesia, bukan kita minta-minta. Untuk kantor presiden tidak ada urusan orang luar, cukup APBN," imbuh Luhut

Kepada Masayoshi, Luhut menyampaikan Softbank dapat berinvestasi di wilayah IKN baru. Misalnya untuk klaster lain di luar kantor presiden dan pemerintahan, yakni klaster perguruan internasional dan rumah sakit dengan standar internasional.
 
"Saya bilang untuk klaster yang lain bisa kita omongin, tapi bukan kalian yang atur. Kita yang memutuskan. Rencananya Presiden Joko Widodo akan memberikan keputusannya pada Februari. Negosiasi kan butuh waktu," pungkasnya.

Dalam memutuskan hal itu, lanjut Luhut, semua kemungkinan bisa saja terjadi. Indonesia harus dalam posisi yang tidak ingin didikte, namun saling menguntungkan.
 
"Kita yang memutuskan, ada saja berbagai kemungkinan. Tapi, yang saya ingin jangan kita didikte orang luar. Semua negosiasi dan saling menguntungkan," tutup Luhut.(OL-12)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya