Headline
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
KOMITE Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) mengungkapkan penangguhan pungutan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya membuat industri refinery atau pengolahan minyak sa-wit di dalam negeri menjadi amburadul.
Pasalnya, tanpa ada pungutan, banyak pelaku usaha langsung mengekspor berupa CPO tanpa diolah lebih dulu. CPO itu dijual ke Malaysia dan di sana diolah menjadi produk setengah jadi dan jadi. “Jadi, kita sama saja membangun industri kelapa sawit Malaysia,” ujar anggota KEIN Fadhil Hasan di Jakarta, Selasa (28/5).
Di sana, CPO yang diolah diekspor ke negara-negara dengan permintaan besar seperti India. Hal itu yang kemudian membuat produk Indonesia kurang bersaing.
“Kita kan tahu India menetapkan bea masuk produk sawit Indonesia lebih tinggi 5% ketimbang Malaysia. Jadi, mereka lebih memilih barang negara tetangga,” jelasnya.
Tak adanya pungutan juga membuat penghiliran kelapa sawit mandek karena terhen-tinya sumber pendanaan. Hal itu memicu kekhawatiran atas keberlangsungan industri kelapa sawit secara keber-lanjutan termasuk untuk pengembangan bahan bakar berbasis minyak sawit.
Karena itu, dia mendesak pemerintah untuk kembali menerapkan pungutan terhadap ekspor CPO dan produk turunannya. Hanya, dana pungutan bisa ditetapkan di angka lebih kecil. Misalnya, pungutan untuk CPO sebesar US$25 per ton dan untuk produk turunan sebesar US$5-US$10 per ton. Angka itu lebih rendah daripada regulasi sebelumnya, yakni US$50 per ton untuk CPO dan US$20 per ton untuk produk turunan.
“Intinya harus ada pungutan yang berbeda antara CPO dan produk hilir. Itu akan menjadi insentif bagi pelaku usaha di hilir. Dananya pun bisa untuk pengembangan industri kelapa sawit yang lebih baik ke depan,” tandasnya.
Sebelumnya, dalam Peraturan Menteri Keuangan No 152/PMK.05/2018 (PMK 152 Tahun 2018) ditetapkan pungutan ekspor US$25 per ton jika harga referensi CPO mencapai US$570 per ton. PMK 152 Tahun 2018 berlaku sejak 4 Desember 2018.
Namun, seiring waktu, meski harga referensi CPO sempat US$595,98 per ton, faktanya harga CPO mulai menurun, yakni pada kisaran US$545 per ton. Karena itu, dalam rapat koordinasi pada 1 Maret 2019, pemerintah memutuskan penangguhan pungutan ekspor CPO agar tidak merugikan kalangan pelaku usaha dan petani. Menko Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengusulkan kepada Kemenkeu untuk merevisi PMK 152 Tahun 2018 itu.
Dukung petani sawit
Secara terpisah, Asian Agri bersama Tanoto Foundation dan United Nations Development Programme membangun Pusat Unggulan Prog-ram Inisiatif Kelapa Sawit Berkelanjutan (SPOI) di Ukui, Pelalawan, Riau. Program itu untuk membantu petani plasma dan swadaya agar dapat mengelola kebun kelapa sawit secara berkelanjutan dan menghasilkan buah dalam jumlah lebih besar. Dengan demikian, kualitas hidup mereka juga akan meningkat.
“Program ini implementasi dari komitmen pemangku kepentingan kelapa sawit. Kami memiliki tujuan sejalan, memastikan pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan, sekaligus meningkatkan kehidupan petani dari sisi ekonomi, sosial budaya, dan kualitas lingkungan hidup. Dengan begitu, bersama mitra petani, kami akan meningkatkan daya saing kelapa sawit Indonesia,” ujar Kepala Komunikasi Perusahaan Asian Agri Maria Sidabutar. (E-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved