Headline
Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.
Nyanyi Bareng Jakarta (NBJ) terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri yang mewadahi orang bernyanyi bersama tanpa saling kenal.
BERMODALKAN nekat dan tekad kuat, I Made Sudarta meninggalkan kampung halamannya yang sudah cukup maju di Nusa Penida, Bali, menuju daerah yang begitu terpencil di Sulawesi Barat.
Berat memang. Tetapi nasib yang kurang baik memaksanya mengambil pilihan tersebut.
"Di Bali sudah pahit. Tidak ada lagi jalan keluar. Jadi saya ke sini," tutur Made mengenang keputusannya tiga puluh tahun lalu.
Ia mengatakan mencari pekerjaan yang laik di Bali kala itu bukan hal mudah. Terlebih bagi dirinya yang tidak tamat sekolah menengah pertama.
"Buat beli seragam, sepatu saja susah. Orang tua saya tidak mampu. Jadi saya tidak lanjut sekolah," ucapnya.
Akhirnya, pada November 1988, saat berusia 25 tahun, Made mengikuti program transmigrasi ke Baras, Sulawesi Barat. Ia menjadi bagian dari 375 orang pengiriman generasi pertama.
Baca juga : Standarisasi Hasil Tambang dan CPO Tingkatkan Nilai
Di desa itu, ia mendapat pekerjaan sebagai petani sawit. PT Unggul Widya Teknologi Lestari (UWTL), selaku pembuka lahan dan pemilik kebun, memberikan tiap-tiap kepala keluarga transmigran lahan seluas dua hektare (ha) untuk digarap, ditanami kelapa sawit.
Tidak hanya diberikan lahan, transmigran juga diberikan modal usaha sekaligus ilmu yang tepat tentang tata kelola tanaman sawit.
"Dulu, sebulan saya dapat upah Rp2.000 per bulan. Itu sudah cukup. Saya senang bisa diberkan kepercayaan untuk mengolah tanah di sini," aku Made.
Memasuki tahun keempat, tanaman sawit mulai berbuah. Ia pun mulai mendapat penghasilan dari komoditas tersebut.
Tiga dekade berselang, Made sama sekali tidak menyesali keputusan yang ia ambil untuk meninggalkan kampung halaman.
Ia kini memiliki lima anak. Si sulung kini sudah tamat S2 dan anak kedua telah menjadi dokter. Adapun, anak ketiganya masih begelut di pendidikan tinggi dan dua yang terakhir masih mengenyam sekolah menengah.
"Padahal saya dulu SMP saja tidak tamat. Saya sangat senang bisa berbuat banyak untuk anak-anak saya," lanjut Made.
Bekerja sebagai petani kelapa sawit, sebutnya, tidak membuat seseorang menjadi kolot. Sebaliknya, ia malah bisa lepas dari garis kemiskinan, menuju kehidupan yang sangat laik saat ini.
Dari keuletannya bertahun-tahun, ia telah memiliki kebun sendiri kurang lebih seluas 100 ha di Sulawesi Barat dan 120 ha di Kalimantan Tengah. Ia juga sudah merambah usaha sarang burung walet bahkan tambang batu bara.
"Saya dan semua masyarakat di sini, sangat berterima kasih karena telah diberikan kesempatan untuk mengelola sawit. Jerih payah sudah terbayarkan. Sekarang saya punya hal baik untuk diteruskan oleh anak-anak saya," tandas Made.
Hal serupa juga dialami Sugiyanto. Ia merupakan keturunan ketiga dari transmigran tahap pertama.
Berdasarkan kisah dari orang tua, sang kakek yang berasal dari Kediri, Jawa Timur, mengikuti program transmigrasi untuk mencari penghidupan yang lebih laik.
Hanya saja, yang membedakan Sugiyanto dengan Made Sudarta adalah, pria berdarah Jawa itu tidak bekerja sebagai petani, tetapi berkarir langsung di dalam perusahaan UWTL sebagai manajer kebun plasma.
"Tapi tetap saya punya kebun. Tidak enak kalau hanya melihat-lihat saja, tidak terjun langsung berkebun sendiri," ucapnya. (OL-8)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved