Headline
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.
Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.
MENTERI Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita menyampaikan sektor industri Indonesia tengah mengalami perkembangan pesat. Hal tersebut terlihat dari komoditas ekspor Indonesia yang mulai beralih dari barang mentah menjadi produk manufaktur.
“(Memang) Impor kita meningkat pada bahan baku dan penolong, (tapi) para ekonom bilang defisit akibat masuknya bahan baku dan penolong justru positif. Itu artinya telah terjadi investasi yang marak pada sektor industri,” ungkap Enggartiasto kepada pers di sela-sela acara Indonesia Industrial Summit 2019 di ICE BSD, Tangerang, Banten, Selasa (16/4).
Enggar, biasa ia disapa, pun membantah pihak yang menyatakan bahwa Indonesia tengah mengalami deindustrialisasi. Pasalnya, berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Perdagangan (Kemendag), baik impor maupun ekspor Indonesia mengalami peningkatan karena penambahan volume bahan baku.
Itu bahkan diperkuat data bahwa sebagian besar permintaan pasar dunia terhadap Indonesia yakni sebanyak 81% berupa produk manufaktur, dan sisanya sebesar 19% merupakan bahan mentah.
“Saya bisa memaklumi ada yang bicara tanpa data. Kalau dia bicara memakai data, ekonomi Indonesia ini stabil dan lembaga dunia pun mengakuinya, dan angka statistik tidak mungkin bohong. Yang bohong itu yang ngomong,” terang Enggar.
Dalam menyongsong revolusi industri 4.0, Enggar mengungkapkan pihaknya berfokus untuk meningkatkan ekspor pada lima sektor, yaitu makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, elektronik, dan kimia.
“Ekspor yang ingin kami kejar, bukan hanya pada industri besar, melainkan juga industri kecil menengah (IKM). Ini beriringan dengan digital economy dan penjualan online,” pungkas Enggar.
Pasar baru
Secara terpisah, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengutarakan untuk jangka pendek pemerintah perlu menggenjot ekspor ke negara lain serta sekaligus mencari pasar baru di tengah perlambatan ekonomi global. Namun, untuk mencari pasar baru dalam upaya meningkatkan ekspor itu tidaklah mudah. Pasalnya, hal itu membutuhkan waktu, strategi, dan produk yang memiliki daya saing.
Karena itulah, menurut Piter, dalam hal mendorong sektor industri, pemerintah perlu menggenjot sektor industri manufaktur di tengah perlambatan ekonomi dunia saat ini.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution juga senada. Menurut dia, tidak ada jalan lain selain mencari pasar baru untuk menggenjot ekspor di tengah-tengah perlambatan ekspor Indonesia meski neraca dagang mengalami surplus pada Maret 2019. Adapun pasar baru yang dimaksud seperti Afrika, Asia Tengah, dan Amerika Latin.
Sebelumnya diberitakan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca dagang Indonesia pada Maret 2019 mengalami surplus sebesar US$0,54 miliar.
Nilai ekspor Maret 2019 tercatat mencapai US$14,03 miliar atau meningkat 11,71% jika dibandingkan dengan ekspor pada Februari 2019. Angka tersebut turun 10,01% jika dibandingkan dengan pada Maret 2018. BPS menilai perlambatan ekonomi global membuat ekspor Indonesia agak sulit untuk digencarkan. (Nur/E-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved