Headline
Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.
Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.
Pemerintah sudah melakukan banyak upaya untuk dapat mendorong kinerja ekspor, mulai dari memberikan kemudahan berusaha melalui program online single submission (OSS) hingga pemberian insentif bagi kalangan industri berskala besar hingga kecil menengah.
Namun, diakui semua usaha tersebut belum mampu mengangkat tren perdagangan Indonesia ke luar negeri. Penyebabnya tak lain ialah kondisi ekonomi dunia yang masih terus mengalami gejolak, ditambah lagi dengan perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.
"Kita sudah melakukan banyak hal. Hanya saja, situasi saat ini, perang dagang, tidak menguntungkan kita. Apa yang kita lakukan tidak bergerak secepat perubahan akibat perang dagang tersebut," ungkap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, di Jakarta, kemarin.
Seperti diketahui, AS dan Tiongkok merupakan dua tujuan ekspor terbesar bagi Indonesia. Dengan kondisi ekonomi dunia yang melemah serta diperparah dengan perang dagang, kedua negara raksasa tersebut mengerem belanja mereka.
Baca juga: Kinerja Ekspor Indonesia Terhambat Faktor Eksternal
"Pertumbuhan ekonomi kita masih baik dibandingkan dengan dua negara itu. Kita juga tidak terlibat perang dagang secara langsung. Namun, yang terjadi pada mereka berdampak pada kita," lanjutnya.
Tercatat, pada 2017, ekspor Indonesia ke Tiongkok tumbuh 45%. Namun, pada 2018, pertumbuhan yang terjadi hanya 17,7%. Begitu pun dengan AS, yang pada 2017 tumbuh sebesar 10,9% menjadi hanya 3,6%.
Karena itu, mencari pasar baru mutlak dilakukan. Saat ini, pemerintah pun telah menjalankan kebijakan tersebut. Perjanjian-perjanjian dagang baru pun sudah terealisasi.
Ia mencontohkan pada masa pemerintahan Joko Widodo, Indonesia banyak menyelesaikan perjanjian kerja sama perdagangan dengan negara-negara mitra, mulai dari Indonesia-Chile Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA), Indonesia-EFTA CEPA hingga Indonesia-Australia CEPA.
Darmin pun menilai perlu ada kajian khusus yang lebih mendalam terkait dampak dari perjanjian dagang internasional. "Harus ada harmonisasi dari semua perjanjian dagang. Itu belum pernah dilakukan sebelumnya. Kita harus mempelajari apakah kerja sama itu mendorong industri dalam negeri atau malah kita keasyikan impor karena lebih murah," tutup Darmin. (Pra/E-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved