Kerja Keras Berantas Tekfin Ilegal

Haufan Hasyim Salengke
18/2/2019 05:15
Kerja Keras Berantas Tekfin Ilegal
(THINKSTOCK)

BANYAK korban mulai berjatuhan akibat sepak terjang perusahaan teknologi finansial/financial technology (tekfin/fintech) ilegal, di antaranya ada sopir taksi yang bunuh diri karena pinjaman daring yang menjerat dengan bunga tinggi. Ditambah lagi, kejaran para penagih yang menekan dirinya dan penyebaran data pribadi.

Begitu pun seorang perempuan berinisial Y mengaku dirinya diteror sejumlah pihak melalui pengaksesan data pribadi dalam telepon genggamnya tanpa izin. Hanya, Y mencari jalan keluar dengan membuat laporan ke kepolisian didampingi Aliansi Perlindungan Konsumen (Alpen).

Mengatasi hal itu, Koordinator Alpen Nasrul Dongoran, meminta ada upaya bersama dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan kepolisian dalam mengawasi layanan keuangan berbasis teknologi.

“Karena fintech merupakan sistem keuangan yang memanfaatkan tekonologi informatika, Kemenkominfo dan OJK bisa bekerja sama jika ada fintech ilegal yang beroperasi menawarkan pinjaman kepada masyarakat,” ujar Nasrul saat dihubungi, Sabtu (16/2).

Selain itu, OJK mesti membuka posko pengaduan korban untuk memudahkan pe­ngumpulan dan bukti dugaan pelanggaran yang dilakukan tekfin. Posko dapat berupa penerimaan pengaduan secara langsung maupun daring.

Ia menilai pengawasan operasional tekfin sangat lemah. Bahkan, regulator terkesan baginya membiarkan pelanggaran itu terus terjadi.

Ketua Pengurus Harian Ya­yasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengimbuhkan, pemerintah tidak dapat menutup mata atas berbagai masalah dalam bisnis itu, terutama terkait dengan pelanggaran hak konsumen.

“Yang utama adalah masih rendahnya literasi digital masyarakat. Mayoritas konsumen tidak membaca ketentuannya sebelum bertransaksi (berutang). Padahal, hal itu penting untuk menentukan akan berutang atau tidak,” ujar Tulus saat dimintai keterangan, kemarin.

Bunga 40%
Keteledoran itu berakibat fatal bagi konsumen karena mereka dapat terjerat dengan bunga sangat tinggi. Diketahui, mayoritas pinjaman daring menerapkan komisi/bunga lebih dari 40% dari utang pokok plus denda harian Rp50 ribu per hari.

Selain itu, konsumen tidak menyadari bahwa pinjaman daring menyadap berbagai data pribadi konsumen yang termuat dalam telepon seluler pintar mereka. Konsumen juga terancam dengan mayoritas peminjam daring itu ternyata belum mengantongi izin operasi dari OJK.

YLKI mencatat dari 300-an bisnis pinjaman daring, hanya 71 di antaranya yang sudah terdaftar di OJK. Yang berizin pun masih banyak menimbulkan masalah. “Kondisi seperti itu tak boleh dibiarkan berlarut-larut,” tegasnya. Ia menekankan harus ada sinergi kuat antara OJK, Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan kepolisian untuk membereskannya.

Terkait dengan literasi digital, Ketua Harian Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPBI) Kuseryansyah, menjelaskan pihaknya berkewajiban 12 kali setahun untuk turun ke masyarakat di berbagai daerah untuk menjelaskan layanan ini. “Semua anggota saat ini 99% melakukannya agar masyarakat memiliki pemahaman tentang cara memilih yang baik,” terangnya.

Di sisi lain, OJK melalui Ketua Satgas Waspada Investasi, Tongam L Tobing, meminta masyarakat tidak meminjam kepada tekfin tanpa memiliki izin OJK. Pihaknya terus mengawasi tekfin, bahkan yang ilegal yang sudah merambah ke media sosial. “Melihat berbagai kondisi itu, kami dari OJK dan asosiasi melakukan pendalaman, dalam hal ini melakukan proses pengumpulan informasi,” jelas Tongam. Pada Februari 2019, Satgas Waspada Investasi memberhentikan layanan 231 penyelenggara pinjaman da­ring ilegal. (Ant/S-4)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya