Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan jumlah penduduk miskin di Indonesia per Maret 2015 mencapai 28,59 juta orang, atau meningkat 0,26 persen dari posisi terakhir di September 2014. Kepala BPS Suryamin menjelaskan, penduduk miskin mencapai 11,22 persen dari seluruh penduduk Indonesia yang mencapai 254,8 juta jiwa.
"Penduduk miskin per Maret 2015 porsinya 11,22 persen atau sebanyak 28,59 juta penduduk. Dibandingkan September 2014 naik 0,26 persen," ujar Suryamin di Jakarta, Selasa (15/9).
Suryamin menjelaskan jumlah penduduk miskin bertambah 860 ribu jiwa dari angka penduduk miskin pada September 2014. Berdasarkan persebarannya, menurut Suryamin, sebanyak 17,94 juta penduduk miskin tersebut berada di wilayah pedesaan. Sedangkan sisanya, sebanyak 10,65 juta jiwa merupakan penduduk miskin di wilayah perkotaan.
Persentase penduduk miskin terbesar berada di Maluku dan Papua dengan porsi 22,04 persen. Wilayah dengan persentase penduduk termiskin yang terendah adalah Kalimantan dengan porsi 6,42 persen.
Menurut Suryamin komoditas makanan memiliki peran terbesar pada peningkatan kemiskinan. Komoditas beras kemiskinan sebesar 23,49 persen di perkotaan dan 32,88 persen di perdesaan.
"Paling besar yang memberikan pengaruh terhadap kemiskinan memang adalah komoditas pangan. Posisi pertama itu adalah beras. Jadi ketika memang harga beras naik, itu orang miskin langsung terpukul," kata Suryamin.
Setelah lain itu, rokok juga berkontribusi dalam peningkatan kemiskinan, dengan peran 8,24 persen di perkotaan dan 7,07 persen di pedesaan.
Menurutnya, setiap bulan harga rokok terus mengalami peningkatan meski kenaikannya tidak signifikan. Tapi ternyata, kenaikan harga rokok juga berpengaruh terhadap peningkatan angka kemiskinan.
"Maka pemerintah harus mampu mengontrol harga beras dan rokok karena sangat berpengaruh terhadap inflasi," kata dia.
Fluktuasi harga bahan pangan lain yang juga berperan mempengaruhi angka kemiskinan adalah harga telur ayam, daging ayam, mi instan, gula pasir, roti manis/roti lainnya, tempe, tahu, dan kopi.
Sementara itu, komoditas bukan pangan yang juga memberikan pengaruh terhadap angka kemiskinan antara lain harga perumahan (9,52 persen), bahan bakar (3,15 persen), listrik (3,02 persen), pendidikan (2,46 persen) dan perlengkapan mandi (1,50 persen). “Kenaikan harga BBM di akhir 2014 menyebabkan harga-harga barang di awal 2015 ikut naik,†ujar dia.
“Bila tingkat kemiskinan sudan 10-11 persen, maka untuk menurunkannya agak susah. Ibarat kalau nasi sudah menjadi kerak, maka perlu upaya khusus,†kata Suryamin.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance Eko Listianto mengatakan pemerintah perlu menyikapi peningkatan angka kemiskinan tersebut dengan memastikan implementasi paket kebijakan ekonomi yang baru saja diterbitkan. â€Jadi harus mampu memastikan paket kebijakan berjalan,†kata dia.
Eko berpendapat pemerintah harus bisa mengantisipasi banyaknya pengangguran yang disebabkan meluasnya gelombang PHK. Sebab menurutnya besarnya gelombang PHK memicu pekerja untuk beralih ke sektor informal.
Dia menilai hal itu nantinya justru berpotensi menimbulkan masalah baru. â€Pemerintah harus menggalakan program-program yang melatih kewirausahaan,†ujar dia.(Q-1)