Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
BENCANA gempa bumi dan tsunami yang melanda Palu, Donggala dan sekitarnya di Sulawesi Tengah (Sulteng) membuat industri kakao dalam negeri kelimpungan.
Pasalnya, provinsi tersebut merupakan sentra produsen kakao terbesar bagi Indonesia.
Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) Pieter Jasman mengungkapkan, pada tahun ini, produksi kakao ditargetkan mencapai 250 ribu ton. Dari total itu, 28% atau sebanyak 70 ribu ton, berasal dari Sulteng.
"Pasti ada koreksi proyeksi produksi. Dengan kondisi Sulteng seperti sekarang, bisa jadi setahun ini produksi hanya 200 ribu ton," ujar Pieter kepada Media Indonesia, Jumat (5/10).
Dengan berkurangnya produksi, tambahan volume impor menjadi satu-satunya jalan untuk memenuhi kebutuhan industri di dalam negeri.
Berdasarkan data AIKI, total kebutuhan kakao untuk industri sebesar 450 ribu ton per tahun. Sementara, produksi kakao dalam negeri, dalam kondisi normal, hanya 250 ribu ton.
"Biasanya, per tahun kami impor 200 ribu ton. Sekarang pasti bertambah," tuturnya.
Ia pun meminta pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian untuk bergerak cepat melakukan pendataan terhadap lahan yang rusak dan memberikan bantuan kepada seluruh petani yang terdampak bencana.
"Bibit, pupuk, tenaga ahli, itu adalah tiga hal yang sangat diperlukan untuk rehabilitasi nantinya," ucapnya.
Pembenahan infrastruktur di wilayah setempat juga mesti dilakukan secara maksimal untuk menghidupkan kembali geliat industri di daerah tersebut.
Sedianya, Industri kakao Indonesia memiliki kapasitas produksi mencapai 800 ribu ton per tahun. Tetapi utilisasi baru hanya 450 ribu ton atau 60% dari kemampuan maksimal.
Hal itu terjadi lantaran produksi bahan baku yakni biji kakao yang sangat terbatas sehingga pasokan harus didatangkan dari luar negeri. (OL-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved