Headline

PPATK sebut pemblokiran rekening dormant untuk lindungi nasabah.  

Fokus

Pendidikan kedokteran Indonesia harus beradaptasi dengan dinamika zaman.

Okupansi Perkantoran Menurun

Ghani Nurcahyadi
24/7/2018 09:47
Okupansi Perkantoran Menurun
Deretan gedung perkantoran dan apartemen terlihat di kawasan Senayan, Jakarta(ANTARA/M AGUNG RAJASA)

UPAYA pemerintah menggaet investasi asing dan menumbuhkan wirausaha baru di Indonesia ikut menggairahkan permintaan terhadap ruang perkantoran, khususnya di wilayah Jakarta. Sayangnya, pasokan yang cenderung tinggi justru membuat tingkat okupansi berbanding terbalik dengan skala permintaan.

Riset Jones Lang Lasalle (JLL) Indonesia pada kuartal II 2018 menunjukkan okupansi ruang perkantoran mengalami penurunan di tengah permintaan yang menggeliat. Head of Research JLL Indonesia James Taylor mencontohkan di kawasan bisnis terpadu (CBD) Jakarta, okupansi ruang kantor turun menjadi 77% atau menurun hingga 1% jika dibandingkan dengan kuartal I 2018. “Permintaan positif di sektor perkantoran pada triwulan kedua ini belum mampu mengesampingkan fakta bahwa tingkat hunian masih terus menurun seiring dengan banyaknya jumlah pasokan baru yang terus berdatangan,” kata Taylor saat memaparkan riset JLL Indonesia di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (18/7).

JLL mencatat, selama kuartal II 2017, terdapat tambahan 141 ribu meter persegi ruang kantor baru di kawasan CBD Ibu Kota. Sejumlah gedung perkantoran baru kelas premium ikut meramaikan ruang kantor di area CBD ini, beberapa di antaranya Menara Astra dan WTC III di kawasan Jalan Jenderal Sudirman.

JLL memprediksi hingga akhir tahun ini, di kawasan CBD akan terjadi penambahan ruang kantor hingga 540 ribu meter persegi. Dari data tahunan, ruang kantor di area CBD sudah mengalami penambahan hingga 330 ribu meter persegi jika dibandingkan dengan periode serupa tahun lalu.

Di kawasan non-CBD, tingkat hunian saat ini mencapai 76%. Tingkat serapan ruang kantor di area ini, menurut Taylor, mengalami peningkatan menjadi 18 ribu meter persegi, dari sebelumnya hanya 12 ribu meter persegi. “Salah satu penyumbangnya ialah gedung perkantoran baru di kawasan Jakarta Utara yang memiliki luas sekitar 32 ribu meter persegi,” ujar Taylor.

Geliat permintaan ruang kantor, lanjut Taylor, berasal dari sektor perusahaan rintisan berbasis teknologi, ruang kerja bersama (co-working space), dan layanan jasa profesional. Usaha rintisan berupa teknologi finansial dan pasar daring (online marketplace) paling aktif dalam mencari ruang kantor baru.

Co-working space
Lembaga konsultan properti lain, Cushman & Wakefield, menyebutkan kehadiran co-working space menjadi salah satu pengisi kekosongan ruang perkantoran di Ibu Kota. Kehadirannya menjadi oase dalam perubahan kultur bekerja yang kini menuntut fleksibilitas.

Associate Director Cushman & Wakefield Christopher Widyastanto mengatakan perkembangan tren co-working space sebagai sebuah revolusi karena hal itu mengubah cara orang bekerja menjadi lebih fleksibel dan memberikan peluang untuk membangun jaring­an. Berbagai perusahaan co-working space, termasuk pemain-pemain besar di skala global, pun telah mulai menjajaki pasar Indonesia yang saat ini berpeluang besar.

“Terutama untuk mengisi kekosongan di dalam pasar yang saat ini diisi kelebihan pasokan (gedung perkantoran) dan masih dalam kondisi tenants market,” ujar Christopher.

Data Cushman & Wakefield menyebutkan tingkat rata-rata okupansi ruang kerja di Kawasan Pusat Bisnis Jakarta di kuartal pertama (Q1) 2018 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya, dari 80,85% menjadi 76,67%. Hal tersebut disebabkan banyaknya pasokan tambahan di kuartal pertama tahun ini. (S-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya