Headline

Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

Transparansi Transaksi belum Diatur, Pajak Properti tidak Maksimal

Micom
17/7/2018 21:10
Transparansi Transaksi belum Diatur, Pajak Properti tidak Maksimal
(Ist)

PENERIMAAN pajak pemerintah dari transaksi jual beli properti saat ini dinilai belum maksimal. Hal itu disebabkan masih banyak transaksi yang dilakukan para broker properti tidak terdata dan tidak diinformasikan dengan transparan serta terbuka kepada pemerintah.

Hal tersebut dikatakan Ketua Umum DPP AREBI Hartono Sarwono di sela-sela diskusi Peran Pemerintah dalam Industri Broker Properti, Selasa (17/7) di Jakarta Design Center.

Menurut Hartono, seluruh data transaksi jual beli properti seharusnya tercatat dan diketahui oleh pemerintah. Dengan demikian, maka pemerintah bisa mendapatkan pajak dari hasil transaksi tersebut. Namun yang terjadi saat ini aturan mengenai hal itu masih belum dilakukan dengan baik. Akibatnya, pendapatan negara dari transaksi tersebut yang seharusnya cukup besar, tidak didapatkan.

"Kami sangat berharap pemerintah lebih serius dan fokus dalam mengatasi hal ini. Industri broker properti tidak bisa memberikan peranan penting dalam rangka meningkatkan pendapatan pemerintah dari sisi perpajakan tanpa peran serta pemerintah itu sendiri," ujarnya.

Pemerintah, sambung Hartono, semestinya segera membuat regulasi yang mendukung pelaksanaan transaksi properti secara transparan. Ia mengakui saat ini industri broker properti sudah mendapat dukungan dari Kementerian Perdagangan terkait regulasi, tetapi itu masih dirasakan belum cukup.

Kini, Kementerian Perdagangan hanya memberikan aturan bagi perusahaan yang bergerak di industri broker properti. Sementara, yang dibutuhkan ialah aturan yang jelas bagi masing-masing personal broker properti tersebut.

"Aturan saat ini ialah setiap kantor broker properti diwajibkan memiliki minimal dua orang tenaga ahli bersertifikat, jika ingin mendapatkan izin usaha sebagai perantara properti. Jumlah ini masih belum cukup, karena seharusnya seluruh broker properti memiliki sertifikasi jika ingin menjalankan kegiatan usahanya," tegas Hartono.

Hal tersebut, lanjut Hartono, juga berlaku di seluruh negara-negara tetangga atau di ASEAN. Indonesia masih ketinggalan dalam penegakan aturan ini. Oleh karena itu, pihaknya berharap seluruh broker properti harus teregulasi, memiliki sertifikat dan seluruh transaksi yang dilakukan dapat dilaporkan secara transparan.

Direktur Eksekutif Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Broker Properti, Yamanah AC menjelaskan, diberlakukannya sertfikasi kepada broker properti mengacu kepada program pemerintah bahwa seluruh tenaga kerja di Indonesia harus memiliki kompetensi. Sertifikasi yang dimaksud harus sesuai dengan standar kerja nasional Indonesia yang ditetapkan oleh Kementerian Tenaga Kerja.

"Saat ini sudah ada 1.000 lebih LSP di Indonesia, yang bukan hanya untuk broker properti, melainkan seluruh profesi seperti dokter, akuntan, pengacara dan profesi lainnya,” kata Yamanah.

Ia juga yakin aturan wajib sertifikasi di industri broker properti akan disambut positif para pelaku profesi ini. Hal itu terlihat dengan tingginya minat dan padatnya jadwal uji kompetensi yang dilakukan pihaknya dalam beberapa bulan terakhir.

"Saat ini baru 1.300 broker properti yang sudah memiliki sertifikasi dan masih banyak sekali yang belum. Kami memperkirakan saat ini, ada 30 ribu broker properti yang melakukan kegiatan, baik yang sudah menjadi anggota AREBI maupun belum. Mestinya dalam waktu dekat seluruh broker properti di Indonesia memiliki sertifikasi agar bisa bersaing dengan broker properti asing," jelas Hartono. (RO/X-12)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ahmad Punto
Berita Lainnya