KOMITE Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), menilai kualitas BBM Indonesia merupakan yang terendah di Asia-Afrika. Menurut Direktur Eksekutif KPBB, Ahmad Safrudin, BBM jenis premium di Indonesia, tidak memenuhi standard kategori 1 standard World Wide Fueld Charter (WWFC).
WWFC menetapkan kualitas BBM dengan kategori 1, 2, 3, 4 di mana semakin tinggi angka penanda kategori ini maka kualitasnya juga semakin baik. Kualitas premium Indonesia yang bahkan tidak memenuhi kategori 1 bisa menyebabkan kerusakan pada mesin kendaraan kendaraan dengan standard euro 1 dan meracuni udara.
“Harga premium kita kini mengikuti harga internasional, tapi kok kualitasnya tidak internasional,†ujar Ahmad di Jakarta.
Ahmad ungkapkan ada yang aneh dengan harga yang ditetapkan pemerintah untuk premium. Ahmad mengklaim pemerintah dan Pertamina tidak transparan karena menggunakan acuan yang tidak equal (setara) dalam menetapkan harga BBM bersubsidi.
“Terkesan BBM bersubsidi paling murah dibandingkan dengan harga BBM di negara lain, padahal sebenarnya di negara lain mungkin harga BBM relatif lebih mahal tetapi juga dengan kualitas yang lebih tinggi,†ungkap Ahmad.
Ahmad menuturkan perhitungan harga bensin RON 92 (setara Pertamax) adalah Rp8.754 per liter, dengan spesifikasi RON 92 dan kadar sulfur maksimal 200 ppm. Jika saat ini harga Bensin subsidi adalah Rp11.850 per liter (Rp8.500 dibayar Rakyat dan Rp3.350 dibayar subsidi Pemerintah), seharusnya rakyat memperoleh bensin setara dengan pertamax.
Sementara harga MOPS (rata-rata BBM di Bursa Minyak Singapura) untuk bensin RON 92 adalah Rp8.888 per liter (harga rata-rata tertinggi antara Januari–Juni 2014 US$121/BBL).
“Jika Rakyat hanya memperoleh bensin Premium 88 maka itu indikasi ada manipulasi. Kalau memang akan menyesuaikan harga BBM, menurut saya terlebih dahulu yang harus ditingkatkan adalah kualitas. Kalau harga patokannya menggunakan kualitas RON 92, maka harusnya di bensin yang disubsidi untuk rakyat kualitasnya sekelas RON 92," jelas Ahmad.
Ahmad juga membandingkan harga BBM di Indonesia dengan di Australia yang dipatok setara dengan Rp9.400 per liter. Menurut Ahmad, harga BBM tersebut juga berbanding lurus dengan kualitas yang dihasilkan, yakni bisa memberi tenaga untuk kendaraan berstandard Euro 5.
Ahmad menilai permainan harga yang dilakukan pemerintah tidak bijak, mengingat masyarakat kini bisa dengan mudah mengakses informasi harga acuan minyak Singapura (MOPS) yang menjadi acuan pemerintah. Ahmad katakan pemerintah seharusnya menghindari indikasi bahwa subsidi BBM selama ini tidak mengalir ke rakyat melainkan semata-mata mendongkrak profit margin PT Pertamina dan atau mereka yang terlibat perdagangan BBM.
Ahmad juga mengatakan pada 2016 Indonesia harus menerapkan kendaraan dengan standar Euro 4. Menurut dia, Indonesia terlambat jika dibandingkan dengan Thailand dan Malaysia yang sudah menerapkan kendaraan Euro 4. Ini menyebabkan industri otomotif Indonesia cenderung melakukan produksi mobil jenis low cost green car (LCGC) saja, padahal kecenderungan pendapatan per kapita masyarakat Indonesia sudah naik sehingga cenderung meninggalkan LCGC.
“Tanpa aksi nyata ini, total konsumsi BBM akan meningkat. Pada 2019, konsumsi bensin diprediksi mencapai 33 juta kiloliter dan solar mencapai 19 juta kiloliter," jelas Ahmad.
Ahmad merekomendasikan penetapan harga premium harus dihitung berapa real production cost (Harga Pokok Penjualan). Biaya crude oil harus sesuai dengan mutu dan sumbernya (domestik atau import). Lalu menetapkan biaya pengolahan dan biaya overhead serta profit margin yg wajar dan atau biaya pokok impor produk BBM ditambah profit margin yang wajar.
Ahmad menyarankan penetapan harga pokok produksi Premium jangan menggunakan acuan harga pokok penjualan BBM yang berbeda kualitas. Jika memang Pemerintah berniat mengabaikan situasi sosial ekonomi masyarakat dengan mengambil kebijakan menaikan harga BBM, Pemerintah harus meningkatkan (up grade) terlebih dulu kualitas RON BBM (Premium dan Solar Reguler) agar memenuhi syarat kebutuhan kendaraan bermotor yang diadopsi di Indonesia (Standar Euro 2).
Buruknya kualitas BBM di Indonesia menjadi kendala bagi auto-industry untuk mengembangkan advance tech of vehicle (LEV dan LCEV) yang diminati oleh konsumen saat ini. Saat ini pasar global memusatkan produksi di Thailand sejak 2003/2004. Ceruk pasar advance tech of vehicle (LEV dan LCEV) diisi oleh Thailand: Leading market di Asia Tenggara sejak 2002. Thailand juga telah mengadopsi standard Euro 2 (Fuel and Vehicle) sejak 1997, sementara Indonesia baru 2007. Sejak 2012 Thailand bahkan telah beranjak mengadopsi Standard Euro 4.
Ahmad juka mengatakan, jika Pemerintah memang berniat mengumpulkan uang dari sektor MIGAS, sebaiknya ditempuh dengan cara yang baik dan tidak melawan hukum, misalnya menerapkan pajak emisi (emissions tax, carbon tax) sebagai tambahan pajak BBM yang telah diterapkan selama ini.
“Jika memaksakan menaikkan harga BBM dengan kualitas yang ada, itu berarti manipulasi dan menzalimi warga negara,†ujar Ahmad. (Q-1)