Headline
Ketegangan antara bupati dan rakyat jangan berlarut-larut.
Ketegangan antara bupati dan rakyat jangan berlarut-larut.
NERACA perdagangan Indonesia sepanjang 2017 mengalami surplus US$11,84 miliar. Capaian tersebut tidak lepas dari pemulihan harga komoditas yang sempat anjlok. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengemukakan surplus dalam neraca perdagangan 2017 lebih tinggi jika dibandingkan dengan di dua tahun terakhir. Pada 2016 surplus neraca perdagangan tercatat US$9,53 miliar, sedangkan pada 2015 nilai surplusnya US$7,67 miliar. Jika melihat fakta itu, dia optimistis surplus kembali berlanjut di kinerja perdagangan 2018. Hal itu juga didasari harga sejumlah komoditas utama, seperti minyak sawit mentah (CPO) dan batu bara, yang menunjukkan tren kenaikan.
“Kita optimistis 2018 surplusnya lebih besar lagi. Sejak 2009 sampai 2011 neraca perdagangan kita bagus karena harga komoditas bagus sekali. Kita cuma alami defisit pada 2012-2014. Nah di 2017 (kinerja perdagangan) sudah menjanjikan lagi,” ujar Suhariyanto dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (15/1). Menurut pria yang akrab disapa Kecuk itu, capaian surplus dalam neraca perdagangan 2017 dipengaruhi kinerja ekspor sebesar US$168,72 miliar atau naik 16,2% ketimbang periode 2016. Adapun kinerja impor tercatat US$156,89 miliar atau naik 15,66% jika dibandingkan periode serupa di 2016 (lihat grafik).
Menyoroti neraca perdagangan Desember 2017, survei BPS menyatakan terjadi defisit US$0,27 miliar. Defisit itu merupakan kali kedua sepanjang 2017 setelah sebelumnya hal serupa terjadi pada Juli. Defisit neraca perdagangan Desember 2017 merupakan hasil dari kinerja impor yang lebih tinggi yakni US$15,06 miliar dari kinerja ekspor sebesar US$14,79 miliar. Di satu sisi, kinerja ekspor Desember 2017 menurun 3,45% ketimbang November 2017 yang mencapai US$15,32 miliar. Penurunan ekspor disebabkan pele-mahan ekspor nonmigas hingga 5,41%. Namun, ekspor migas tercatat naik 17,96%.
“Kita harus hati-hati karena harga minyak terus meningkat lantaran ada pemangkasan produksi dari OPEC dan Rusia. Rata-rata perkembangan harga minyak selama November ke Desember naik dari US$59,4 ke US$60,9 per barel. Sekarang sudah naik lagi,” jelas Kecuk.
Menurutnya, pemerintah harus segera mengantisipasi tren kenaikan harga minyak dunia yang saat ini sudah di atas asumsi makro dalam APBN 2018 melalui Indonesian crude price (ICP) sebesar US$48 per barel. Tak hanya bagi perekonomian domestik, fluktuasi harga minyak juga berpengaruh pada kinerja perdagangan dunia, terutama sektor minyak dan gas bumi (migas). Maka dari itu, diperlukan kombinasi dalam struktur perdagangan nasional terutama dari sektor nonmigas.
Pengamat ekonomi dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal berpendapat, untuk mengantisipasi harga minyak dunia yang terus melonjak diperlukan perubahan struktur ekspor yang tidak lagi berbasis komoditas, melainkan pengolahan. Pasalnya, harga minyak cenderung berfluktuasi sehingga berpotensi kembali turun. “Tetapi perubahan struktur ekspor membutuhkan kebijakan jangka panjang yang mencakup seluruh kebijakan ekonomi, termasuk kepastian dan kemudahan investasi. Kebijakan perdagangan juga harus suportif untuk pengembangan industri yang diperlukan.” (E-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved