Headline

Gaikindo membeberkan penyusutan penjualan mobil di Tanah Air.

Asosiasi Emiten Khawatirkan Penetapan Tersangka Korporasi

(Ant/E-3)
08/9/2017 07:17
Asosiasi Emiten Khawatirkan  Penetapan Tersangka Korporasi
(FOTO ANTARA/Andika Wahyu)

ASOSIASI Emiten Indonesia (AEI) menilai penetapan tersangka korporasi dengan mengacu pada peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana menjadi ancaman dan risiko bagi pelaku pasar mo­dal. Apalagi saat ini banyak perusahaan yang saham mereka tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) sedang berurus­an dengan Komisi Pembe­rantasan Korupsi (KPK). Para pelaku pasar mengaku belum mengetahui secara jelas, korporasi seperti apa yang dapat dijadikan tersangka oleh KPK. “Karena ini baru, dan belum disosialisasikan, definisi tersangka itu seperti apa, lalu yang mewakili di pengadilan itu siapa, hukum­annya apa,” ungkap Direktur Eksekutif AEI Isaka Yoga, di Jakarta, Kamis (7/9).

Karena itu, agar tidak membuat cemas kalangan investor, jelas Isaka, KPK maupun lembaga pemerintah terkait mestinya bisa menjelaskan kepada masyarakat soal korporasi yang menjadi tersangka. “Sebab, perusahaan itu kan benda mati, yang menjalan­kan itu orang,” kata dia. Menurut Isaka, dari beberapa praktik di banyak negara, apabila perusahaan melakukan pelanggaran, anya dikenai denda. “Kalau di sini kami belum tahu dan belum ada bayangan karena belum ada sosialisasinya. ­Apalagi, sebagai perusahaan publik, pengawasannya sangat ketat, mulai Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga BEI,” pungkasnya.

Pakar hukum dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menambahkan penanganan perusahaan yang sahamnya dimiliki publik seharusnya lebih hati-hati lantaran bisa merugikan banyak pihak. Apalagi kini ada beberapa perusahaan yang melantai di BEI dan direksinya tengah tersangkut kasus korporasi. “KPK harus hati-hati, jangan sampai ada kepentingan politik yang masuk dan kemudian mengambil keuntungan,” jelasnya.

Menurut dia, apabila benar terjadi tindak pidana, penegak hukum harus lebih dahulu mencari orang di dalam perusahaan itu yang melakukan tindak pidana korupsi. “Jika ada kerugian dan tidak bisa ditanggung, barulah masuk ke tingkat korporasinya. Jadi parameternya jelas,” tegas Fickar. Ia mencontohkan kasus yang bisa menjadi yurisprudensi ialah kasus PT Giri Jaladhi Wana di Banjarmasin. Pemkot Banjarmasin telah kehilangan pendapatan dari hasil pengelolaan Pasar Sentra Antasari yang tidak disetorkan PT Giri. “Saat itu yang jadi tersangka adalah direkturnya, tetapi karena tidak bisa membayar kerugian kepada negara setelah diputuskan bersalah, perusahaan itu asetnya disita dan dilelang untuk mengganti kerugian,” ujarnya. (Ant/E-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya