Headline
Pelaku perusakan dan penganiayaan harus diproses hukum.
Pelaku perusakan dan penganiayaan harus diproses hukum.
OTORITAS Jasa Keuangan (OJK) mencatat terjadi peningkatan rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) pada industri Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di tengah perkembangan yang positif pada aspek total aset, kredit yang disalurkan, dan pengumpulan dana pihak ketiga. Berdasarkan data OJK per April 2017, NPL gross BPR mencapai 6,98% meningkat jika dibandingkan dengan akhir tahun lalu yang mencapai 5,83%. Pada Januari, Februari, dan Maret 2017, NPL BPR masing-masing 6,48%, 6,61%, dan 6,68%.
Oleh karena itu, OJK akan terus memantau perkembangan NPL yang mendera BPR. “NPL masih relatif tinggi. Saya kira memang tidak terlepas dari gambaran umum karena industri perbankan secara umum tahun lalu mengalami tekanan NPL yang cukup signifikan,” kata Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad di Jakarta, Senin (10/7). Muliaman menuturkan, untuk mengatasi masalah NPL tersebut memang membutuhkan waktu karena juga terkait dengan kondisi ekonomi domestik yang kini tengah berupaya pulih setelah dalam beberapa tahun terakhir relatif lesu dan berdampak terhadap kinerja BPR.
Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Joko Suyan-to mengatakan, pihaknya juga akan meningkatkan monitoring agar rasio NPL bisa ditekan. BPR juga akan melakukan restrukturisasi serta meningkatkan tingkat kehati-hatian saat BPR akan memberikan kredit. “Dan, pembinaan terhadap para pelaku UMKM supaya mereka menjalankan usaha dengan track yang baik sehingga repayment capacity dia tidak turun,”ujarnya.
Di luar masalah NPL, OJK mencatat pertumbuhan total aset BPR sebesar 10,18% (yoy) menjadi Rp115,2 triliun. Jumlah BPR saat ini mencapai 1.621 dengan kredit yang berhasil disalurkan sebesar Rp110,9 triliun atau tumbuh 9,95% (yoy) dengan dana pihak ketiga (DPK) sebesar Rp95,5 triliun tumbuh 9,8% (yoy). Meski demikian, OJK menilai masih terdapat permasalahan internal yang masih harus dibenahi antara lain permodalan yang masih terbatas, tata kelola (good corporate governance/GCG), kualitas dan kuantitas sumber daya manusia (SDM), biaya dana mahal, serta produk, dan layanan yang belum variatif. “BPR yang dicabut (izinnya), 70% tersandung masalah GCG, bukan mati karena persaingan.Dicuri oleh yang mengelola,” tandasnya. (Ant/Try/E-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved