Headline
Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.
Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.
PT Pertamina (persero) mengkaji kembali perencanaan proyek kilang Refinery Development Masterplan Program (RDMP) ataupun New Grass Root Refinery (NGRR).
Pengkajian proyek demi tujuan swasembada bahan bakar minyak (BBM) itu terpaksa dilakukan lantaran aspek finansial terhadap sejumlah proyek kilang yang dibangun secara paralel.
"Harus ditata ulang dengan melihat kemampuan keuangan Pertamina. Secara garis besar, karena ada dua (proyek kilang) yang berpartner. Jadi kita enggak bisa tentukan sendiri, harus bicara dengan partner," ujar Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, Selasa (6/6).
Dua proyek kilang yang digarap dengan investor lain ialah kilang RDMP Cilacap dengan Saudi Aramco dan kilang GRR Tuban dengan Rosneft.
Dengan adanya tinjauan kembali, sejumlah proyek strategis berpotensi mundur dari jadwal perencanaan.
Kendati demikian, Elia Massa Manik memastikan mundurnya beberapa proyek kilang tidak akan mengganggu pencapaian target kapasitas kilang nasional 2 juta barel per hari (bph) per 2025.
Ia menjelaskan kilang RDMP Cilacap yang semula ditargetkan rampung 2021 bergeser jadi 2023.
Kemudian, kilang GRR Tuban yang target penyelesaiannya di 2022 mundur menjadi 2024.
Menurutnya, wajar bila perseroan melakukan kajian ulang finansial bersama mitra kerja mengingat nilai investasi proyek kilang tergolong besar.
Nilai investasi kilang Cilacap sebesar US$6 miliar dan kilang Tuban mencapai US$13 miliar.
Pun mundurnya realisasi pengerjaan kilang turut mengantisipasi penumpukan beban finansial.
Apalagi Pertamina masih menanggung piutang pemerintah berkisar Rp40 triliun yang hingga kini belum dibayarkan.
Akumulasi utang pemerintah muncul lantaran adanya program subsidi BBM.
Negosiasi ulang
Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia Rachmad Hardadi menambahkan, kini pihaknya masih bernegosiasi dengan mitra kerja, yakni Rosneft dan Saudi Aramco.
Dari hasil negosiasi dengan Saudi Aramco, terdapat perubahan ketentuan (term and condition) dengan produksi tidak seluruhnya diserap (off take) Pertamina. Hanya saja belum ada keputusan terkait dengan besaran share yang diambil investor.
Sebagai informasi, joint venture development agreement (JVDA) dengan BUMN asal Arab Saudi diteken Desember 2016.
Kajian terhadap aspek analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) ditargetkan selesai pada kuartal III 2017, sedangkan tahap front end engineering design (FEED) dimulai kuartal IV 2017.
Dengan Rosneft, sambung Hardadi, pihaknya baru akan melakukan negosiasi lebih lanjut melalui steering comittee (SC).
Pembentukan joint venture (JV) dengan investor asal Rusia sudah diteken ejak Oktober 2016.
Baik aspek amdal maupun basic engineering design (BED) ditargetkan rampung pada kuartal III 2017.
"Mengingat beberapa proyek berpartner, tentu harus ada kesepakatan kedua belah pihak (termasuk memundurkan jadwal). Kecuali untuk kilang yang digarap sendiri oleh Pertamina," kata Hardadi. (E-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved