Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Butuh Reformasi agar Ada Kepastian Hukum dalam Peradilan Pajak

23/5/2017 11:25
Butuh Reformasi agar Ada Kepastian Hukum dalam Peradilan Pajak
(Ist)

PERTUMBUHAN beban perkara sengketa di Pengadilan Pajak semakin berat dari tahun ke tahun. Jumlah sengketa yang melonjak itu diakibatkan oleh perselisihan atau perbedaan hasil penghitungan besaran pajak oleh wajib pajak dan angka resmi yang dikeluarkan kantor pajak.

“Jumlah sengketa pajak yang terdaftar pada Pengadilan Pajak pada 2014 melonjak naik 29,37% menjadi 10.866 perkara jika dibandingkan dengan 2013. Sementara jumlah perkara yang diputuskan Pengadilan Pajak tercatat 8.845 buah atau naik 19,92%,” ungkap pengamat pajak David Hamzah, dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC).

Dalam keterangan yang dirilisnya di Jakarta, Selasa (23/5), David menambahkan, pertumbuhan jumlah perkara itu terus terjadi pada tahun selanjutnya. Selain terus terjadi tumpukan perkara, menurut dia, keputusan Pengadilan Pajak pun tidak langsung final karena wajib pajak tidak merasa puas dan melakukan banding.

Pihak Direktorat Jendral Pajak sendiri mempunyai target untuk menaikkan jumlah pendapatan pajak. Sebanyak tujuh sektor industri menjadi sasaran optimalisasi penerimaan pajak, yakni industri manifaktur baja, konstruksi dan real estate, pertambangan, perkebunan, jasa keuangan, jasa medis, serta jasa telekomunikasi.

Gambaran pertumbuhan beban perkara itu tampak cukup besar sebagaimana digambarkan dalam buku 'The Tax Disputes and Litigation Review, Fifth Edition', yang diedit Simon Whitehead, terbitan Law Business Research Ltd, London, 2017 hal 187-197.

Atas perkembangan itu, David mengatakan dalam penentuan pajak (PPh) badan bagi perusahaan pelaku kontrak karya memiliki ketentuan yang berbeda antara perusahaan satu dan perusahaan lainnya.

“Besaran PPh yang dianut sangat dipengaruhi oleh kontrak karya yang ditandatangani,” ujar David. “Apabila saat ditandatangani kontrak karya tersebut menggunakan ketentuan PPh badan sebesar 30%, maka menggunakan aturan tersebut meskipun sudah berganti kepemilikan,” sambungnya.

David menungkapkan pernyataan tersebut saat menanggapi perbedaan penghitungan PPh yang diberlakukan untuk perusahaan pelaksana kontrak karya. Beberapa perusahaan pelaku kontrak karya pertambangan berkewajiban membayar PPh badan sebesar 25% dan sebagian lainnya harus terikat pada aturan PPh badan sebesar 30%.

Perbedaan itu muncul sebagai akibat pemberlakuan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Berdasarkan ketentuan itu, besaran PPh badan mulai 2010 diberlakukan tunggal, yaitu 25%. Sedangkan berdasarkan UU Pajak sebelumnya berlaku progresif sesuai dengan besaran pendapatan.

Hal tersebut kemudian berkonsekuensi pemegang kontrak karya pertambangan biasanya harus membayar pajak sebesar 30%.

“Semuanya merujuk pada klausul di dalam kontrak karya. Apabila menggunakan peraturan 25%, maka ikut 25%. Hal tersebut juga berlaku sebaliknya. Meskipun peraturan sekarang sudah berlaku 25%, apabila kontrak karya menggunakan 30%, maka dikembalikan sesuai dengan dokumen kontrak karya,” jelas David.

Meskipun terkesan terdapat peraturan yang cukup jelas, lanjut dia, hal itu membuat kegamangan bagi para investor pertambangan. Kegamangan itu terjadi bagi para pelaku yang biasanya melanjutkan kontrak karya dari perusahaan lain dan bukan membuat perjanjian baru dengan pemerintah Indonesia.

Menyikapi perbedaan tersebut, beberapa perusahaan tambang akhirnya mengajukan permasalahan itu ke Peradilan Pajak. Namun, hasil persidangan sangatlah berbeda antara satu penggugat dan penggugat lainnya. Sebagian permintaannya dikabulkan, tetapi sebagian lagi ditolak permohonannya.

“Perbedaan hasil tersebut sangat dimungkinkan terjadi karena diskresi dari hakim. Setiap hakim tentunya memiliki pertimbangan dan dasar hukum sendiri untuk membuat hasil gugatan yang berbeda,” terangnya.

Lebih lanjut David menjelaskan, faktor utama dari perbedaan putusan hakim juga karena kapasitas dan pengetahuan hakim tentang perpajakan. Tidak semua hakim memiliki kemampuan dan pemahaman yang sama mengenai perpajakan dan juga peraturan perpajakan.

“Salah satu upaya yang didorong terutama di MA (Mahkamah Agung) adalah membentuk kamar-kamar untuk penanganan kasus. Terutama untuk kasus pajak diarahkan kepada hakim-hakim yang memiliki pengalaman mengenai pajak,” papar David.

"Hal ini penting karena pada 2015, sejumlah 1.105 dari 2.075 kasus di MA berasal dari sengketa pajak,” imbuhnya.

Besarnya kasus sengketa pajak itu berasal dari ketidakpuasan baik penggufat maupun tergugat terhadap hasil persidangan di tingkat Pengadilan Pajak. Berbeda di tingkat Pengadilan Pajak di mana hanya perusahaan yang bisa mengajukan gugatan.

Ia menjelaskan di tingkat MA, semua pihak termasuk kepala daerah bisa mengajukan gugatan terhadap hasil persidangan.

“Butuh reformasi dalam pajak agar semua pihak baik pemerintah ataupun sektor swasta memiliki dasar hukum yang jelas sehingga berbagai asumsi ekonomi lebih dapat mudah dikalkulasi termasuk penerimaan negara,” pungkasnya. (RO/OL-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya