Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Yang Muda yang Siap Tarung di Pasar Bebas

Fario Untung
03/1/2016 00:00
Yang Muda yang Siap Tarung di Pasar Bebas
(FOTO-FOTO: DOK PRIBADI)
USIA mereka belum lagi genap 40 tahun. Namun, bisnis yang mereka lakukan sudah merambah mancanegara. Kendati sejumlah anak muda ini belum bisa digolongkan pengusaha konglomerat, upaya yang mereka lakukan merupakan terobosan. Mereka jeli membaca peluang pasar, terutama dalam menghadapi pasar bebas di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Eric Tenggara, misalnya. Bersama CV Rosario Mutiara yang didirikannya, dia memanfaatkan potensi laut, terutama di kawasan Indonesia Timur, dengan membudidayakan mutiara. Pemuda berusia 29 tahun itu bahkan sudah mampu mengekspor produknya ke luar negeri.

Menurut Eric, 90% pasar produknya justru ada di negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Ia bahkan sudah pula merambah Hong Kong, Tiongkok, Jepang, Rusia, Amerika Serikat, Eropa, dan Afrika. "Memang permintaan konsumen asing lebih besar daripada konsumen dalam negeri," ujarnya, Kamis (31/12/2015). Menurut Eric, saat ini jumlah produksinya berada di kisaran angka 60-80 kilogram/tahun. Jumlah itu dapat menghasilkan sekitar 30 ribu-40 ribu butir mutiara. Sebagai gambaran, harga mutiara di pasaran berkisar Rp200 ribu hingga Rp5 juta per gram.

Seperti halnya Eric, Nikolas Kurniawan juga jeli memanfaatkan kekayaan alam Indonesia. Pemuda 21 tahun yang menekuni usaha ikan hias itu mampu mengekspor dagangannya ke hampir semua negara. Negara yang menjadi konsumen setianya ialah Tiongkok dan Belanda. Di bidang garmen, Qory Nur Agnes juga jeli membaca peluang pasar. Perempuan berusia 30 tahun yang berbisnis pakaian itu memasarkan produknya ke negeri tetangga seperti Brunei Darussalam dan Malaysia. Produk yang dijualnya terutama busana muslim dan batik.

Qory yang mendesain dan memproduksi sendiri brand miliknya itu memiliki tempat penjahitan di bilangan Jakarta Barat.
Dengan memproduksi sendiri, wanita 30 tahun itu bisa memangkas belanja modal sehingga dapat menjual dengan harga bersaing. "Di Malaysia itu baju-bajunya bisa lebih mahal sekitar 20%-30%. Jadi tentu mereka lebih memilih berbelanja di kita, lalu menjualnya kembali di negara mereka. Terlebih menurut saya desain dan bahan kain buatan kita jauh lebih baik."

Peluang
Sama halnya dengan Fauzan Rachmansyah. Pemilik kedai susu Kalimilk, Sleman, Yogyakarta, itu sudah siap tempur di MEA. Baginya, pemberlakuan MEA merupakan kesempatan pengusaha dalam negeri untuk unjuk diri, bukan justru dibalut rasa takut. "Saya selalu punya prinsip bahwa pertahanan terbaik dalam sepak bola ialah menyerang. Kita dulu yang serang mereka daripada kita yang diserang," tegas pemuda yang akrab disapa Ozan itu. Pengusaha kelahiran Jakarta, 1985, itu pun sedang siap melakukan ekspansi ke negara-negara tetangga.

Outlet Kalimilk siap memikat warga Kuala Lumpur, Malaysia, dan Naypyitaw, Myanmar, bulan ini. Kejelian memanfaatkan peluang memang salah satu kunci memenangi persaingan di arena MEA. "Ingat, pasar ASEAN itu ada 450 juta (orang). Itu merupakan pasar yang sangat menjanjikan," ujar Wakil Ketua Kadin Haryadi Sukamdani, dua hari lalu.

Indonesia yang berpopulasi 40,6% dari total penduduk ASEAN, imbuh dia, seharusnya memang tidak hanya menjadi pasar yang pasif. Pemerintah dan pengusaha mesti aktif memanfaatkan ceruk pasar seperti yang dilakukan sejumlah anak muda itu. Presiden Jokowi pun beberapa kali meminta masyarakat tidak takut atas pemberlakuan MEA. "Mereka saja takut dengan kita, kenapa kita malah ikut-ikutan takut seperti mereka?" tegasnya. (Dio/X-9)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya