Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
ADA pemandangan lucu setiap ikut salat berjemaah di masjid. Zaman sekarang yang berbaris rapi bukan hanya manusia, melainkan juga telepon seluler (ponsel). Biasanya disimpan di atas karpet. Layarnya ada yang menghadap ke atas, ada juga yang ke bawah.
Saya pun demikian, tapi dengan layar menghadap ke bawah dan di-silent tentunya dengan tujuan tidak mengganggu konsentrasi saat beribadah.
Menurut penelitian, rata-rata manusia modern hanya mampu berpisah dengan HP selama 15 menit saja, bahkan ada hasil yang menunjukkan hanya bisa 7 menit saja. Mungkin ini yang menyebabkan orang yang salat di samping saya selalu mengecek ponselnya setiap jeda antarsalat tarawih.
Terkadang dia hanya melihat sebentar lalu disimpan lagi, tapi juga beberapa kali menjawab pesan. Bahkan, sempat saya lihat memberi likes pada posting-an Instagram, hehe. Jangan tanya ketika ustaz sedang memberikan ceramah, dia malah asyik sendiri dengan ponselnya.
Bisa jadi di antara kita banyak yang mengidap nomophobia (no mobile phone phobia), suatu sindrom rasa takut yang tidak beralasan jika tidak punya atau tidak ada akses ke ponsel.
Ini termasuk jika ponselnya habis baterai dan kuota atau kehilangan sinyal. Beberapa ahli menyatakan kata phobia tidak terlalu tepat karena ini lebih merupakan rasa cemas (gelisah) atau anxiety saja.
Zygmunt Baumant seorang sosiolog mengatakan modernitas berjalan secara ambigu. Di satu sisi memberikan kemudahan yang tidak diperoleh orang-orang di zaman sebelumnya, tapi di sisi lain juga menyuguhkan aneka risiko. Salah satunya ialah alienasi manusia pada dirinya sendiri, dan nomophobia ialah contohnya.
Dulu hidup sendiri dalam arti tidak terhubung dengan orang, bukanlah sebuah masalah. Sekarang, jika tidak ada kontak dengan orang lain, entah telepon, Whatsapp, posting di media sosial, dan sebagainya akan membuat hidup terasa kurang. Di sinilah proses alienasi teknologi terjadi. Padahal, eksistensi kemanusiaan orang itu sama sekali tidak tergantung ada dan tidaknya ponsel tersebut.
Ponsel dan internet ialah teknologi yang mengubah dunia. Banyak manfaat yang didapat, saya pun merasakannya. Zaman sekarang kita bisa bekerja di mana pun, hanya dengan ponsel kita.
Dari mencatat ide dan kerangka tulisan untuk bahan tulisan di kolom ini, membalas e-mail pekerjaan, berkoordinasi dengan teman kantor, ngobrol dengan teman, dan sesekali menjadi influencer. Yang terakhir ini ialah salah satu pekerjaan paling menyenangkan. Hanya dengan posting foto atau video ditambah ketak-ketik sedikit menjadi caption, jadi duit deh, hehe.
Saya tidak bisa melarang seseorang untuk berjauhan dengan ponselnya karena saya pun begitu, tapi setidaknya saya masih mengikuti adab dan etika penggunaannya. Terutama jika kita ada di dalam rumah ibadah, sebaiknya kita sejenak berjauhan dengan urusan duniawi untuk fokus mendengarkan firman Tuhan.
Jangan sampai ustaz sedang ceramah kamu malah asyik menembaki orang di game PUBG, atau sampai lupa hitungan berzikir karena kamu selingi dengan menjawab janji bukber di grup Whatsapp.
Setiap akan mulai salat berjemaah di masjid, kita sering mendengar sang imam berkata, “Untuk menjaga kesempurnaan salat kita, kami mohon yang membawa HP harap dimatikan.” Di sini saya melihat ada logika kalimat yang membingungkan, hehe.
Apa sebenarnya yang dimatikan? Yang membawa ponsel atau ponselnya yang dimatikan. Tentu saja kita mengerti dari segi konteksnya yang dimaksud ialah ponsel jemaah dimatikan. Namun, kalimat ini bisa saja berarti orang yang membawa ponsel yang dimatikan. Hehe, ini hanya pikiran random saya saja.
Akan tetapi, jadinya terpikir bagaimana jika usia kita berakhir di masjid. Apakah kita meninggal dalam keadaan baik karena sedang beribadah di masjid atau meninggal dalam keadaan tidak terlalu baik karena sedang asyik bermain ponsel meskipun tempatnya itu di masjid? (H-3)
DARI judulnya, ini ialah pelesetan The Winter is Coming, dari serial TV
Dalam bahasa Prancis, 'C'est bon pret' artinya 'itu bagus'. 'C'est bon pret' ialah judul lagu yang sedang saya tulis, bercerita tentang cebong dan kampret.
Karena khusyuk bukan kita ciptakan, tapi diberi langsung oleh Allah sebagai hadiah nikmat karena kita menemui-Nya.
WAKTU itu saya sedang terkantuk-kantuk di atas sofa menikmati Minggu sore yang santai.
TIDAK terasa sudah 15 tahun saya berkarier di dunia hiburan. Banyak yang menganggap saya sebagai orang sibuk, ya alhamdulillah artinya saya masih dianggap laku, hehe.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved