LEBARAN sudah di depan mata, tapi saya masih belum bisa berkesempatan buka bersama dengan seorang sahabat karena di bulan Ramadan ini jadwal kami sama-sama padat. Sebagai pekerja seni saya banyak rekaman acara TV untuk ditayangkan saat libur Lebaran nanti, sementara dia bekerja di sebuah perusahaan pembiayaan finansial yang harus lembur karena animo masyarakat untuk mengajukan kredit tinggi sekali.
Itulah fenomena menjelang Lebaran. Cek saja dealer motor, mobil, juga alat elektronik, pasti mengalami peningkatan penjualan menjelang Lebaran ini. Kebanyakan cara membayarnya tentu saja dengan kredit. Soal setelah Lebaran ditarik lagi oleh leasing, itu urusan nanti.
Dalam membeli barang, ada yang karena butuh, tapi ada juga yang karena ingin. Mirip padahal sangat berbeda. Gampang membedakan kebutuhan dan keinginan. Pertama dari sifatnya; kebutuhan itu objektif karena semua orang punya kebutuhan dasar yang sama, sedangkan keinginan itu subjektif karena keinginan setiap orang itu berbeda-beda tergantung gaya hidup, pendapatan, dan pola pikirnya. Semakin tinggi gaya hidup, pendapatan, dan pola pikir seseorang, biasanya semakin banyak pula keinginannya.
Kedua dari sumbernya. Kebutuhan bersumber dari fitrah manusia, yang jika tidak dipenuhi, kehidupan bisa terancam. Adapun keinginan bersumber dari hawa nafsu.
Yang ketiga, dari ‘nilai’-nya. Kebutuhan dinilai dari seberapa besar fungsi dan manfaat yang dapat kita peroleh dari pemenuhannya, sedangkan keinginan dinilai dari seberapa besar selera dan preferensi.
Lalu perbedaan kebutuhan dan keinginan bisa kita lihat dari hasilnya. Kebutuhan yang terpenuhi akan menghasilkan kemanfaatan yang biasanya terbatas, sedangkan keinginan yang terpenuhi akan menghasilkan kepuasan yang tidak memiliki batasan.
Jadi benar bahwa rezeki dari Allah itu akan cukup untuk hidup, tapi tidak akan pernah cukup untuk gaya hidup.
Hidup itu murah, merek yang membuatnya jadi mahal. Hidup itu sederhana, gengsi yang membuatnya jadi rumit. Demi gaya, jadinya tersiksa. Ini memang zaman orang ingin menaikkan gaya hidup dengan cara menurunkan harga diri.
Saya teringat petuah kakek dan nenek di Garut dalam peribahasa berbahasa Sunda ‘ngukur ka kujur, nimbang ka awak’, yang artinya hidup itu harus sesuai dengan kemampuan diri. Menurutnya, orang yang pamer itu adalah orang yang tidak bahagia. Karena kalau bahagia, dia tidak perlu menceritakan hidupnya, prestasinya, atau hal hebat yang dia lakukan. Allah SWT memberkahi kita dengan rezeki berlebih, tak perlu menaikkan standar hidup kita, tapi naikkan standar kita dalam memberi.