SABTU (14/11) sore itu tidak seperti biasa. Jalanan di sekitar Gudang Sarinah, Pancoran, Jakarta, penuh kendaraan, apalagi dari arah Pasar Minggu, jalan sempit hanya cukup untuk simpangan dua mobil dan satu motor. Itu pun harus agak turun sampai bahu jalan. Memaksa menorobos bakal mengenai kendaraan di depan, sedangkan berbalik arah juga sama saja. Bukan pilihan bijak. Istilahnya 'maju kena mundur kena.' "Ada acara, Bang!," ucap pedagang rokok di depan lapak kecil tanpa menyebut detail acaranya. "Macetnya sampe sini!" cetusnya saat Media Indonesia melintas. Acara pada sore itu ialah pembukaan Jakarta Biennale, sebuah ajang pameran seni yang digelar rutin tahunan. Pantas saja jalanan yang biasanya tidak terlalu penuh menjadi sangat sulit dilewati.
Sampai di Gudang Sarinah, semua pengendara, baik roda dua maupun roda empat, akan mendapati pengalaman parkir yang luar biasa lain. Pengemudi akan diarahkan menuju lahan parkir dadakan. Jalanan di sela bangunan gudang-gudang untuk parkir roda empat, sedangkan kendaraan roda dua digiring masuk ke gudang yang difungsikan gedung parkir. Mereka yang terbiasa parkir di galeri ataupun pusat perbelanjaan modern bakal mendapati sensasi berbeda. Terlebih lagi Gedung Sarinah tak memakai pendingin udara. Pemilihan lokasi pameran juga mendapati alasan tersendiri. Begitu menurut salah seorang kurator Irma Chantily. Gudang Sarinah jauh dari kesan putih-bersih seperti layaknya galeri atau museum, sekaligus tanpa pendingin udara. Selain itu, lokasi tersebut bisa merepresentasikan kondisi Jakarta yang macet dan panas.
"Kami ingin pameran yang tidak berjarak dengan masyarakat. Tempatnya di gudang, lokasinya sentral, orang akan lebih tertarik untuk masuk," terang Irma di sela pameran. Pameran Jakarta Biennale 2015 dibuka selang setengah bulan dari pembukaan Biennale Jogja 2015 di Jogja Nasional Museum (1/11) yang mengambil tema Hacking conflict. Penyelenggaraan keduanya juga berpotongan meski beda kota. Pameran Jakarta Biennale 2015 pada 15 November 2015-17 Januari 2016, sedangakn Biennale Jogja XIII pada 1 November-10 Desember 2015. Dengan tema Maju kena mundur kena; bertindak sekarang, Jakarta Biennale 2015 dihelat di Gudang Sarinah, Pancoran, Jakarta. Tema tersebut diambil dari judul film komedi Warkop era 1980-an. Sebuah ekspresi lokal yang mengacu pada situasi yang khas Indonesia.
"Kami menerjemahkan situasi itu dengan mengartikannya bahwa kita harus berfokus pada saat ini dan pada situasi mutakhir di sekitar kita. Kami menolak mengenang nostalgia masa lalu yang tak terjangkau atau maju menuju utopia yang tak dapat dicapai," begitu menurut kurator asal Inggris, Charles Esche. Pameran ini memperlihatkan segala bentuk respons seniman terhadap kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Itu berangkat dari beberapa arus ide utama, yakni, isu sejarah dan memori perkotaan, isu lingkungan yang menyorot penggunaan sekaligus penyalahgunaan air, serta perbedaan sosial dan seksual. Memahami ide tersebut akan memudahkan penghubungan karya yang terhampar di ruang gudang seluas 3.000 m2.
"Ide-ide tersebut menghubungkan karya-karya dan mengalir sepanjang pameran," lanjut Charles. Meski hadir dalam tiga isu utama, konstruksi ruang pamer tidak dibagi menjadi tiga bagian dengan tiap-tiap isu, tapi menempatkan karya secara berdampingan, berkelindan antara setiap isu. Rancang bangun pamer dibuat sedemikian rupa menyerupai kampung perkotaan. Terdapat ruang publik di bagian tengah dan jalur sela yang berbeda luas. "Kita ingin meminjam logika arsitektur kampung-kampung kota yang dibangun secara organik seperti Marunda, Penjaringan, dan Petamburan. Saat masuk pertama kali, ada ruangan besar public space, masuk ke dalam ketemu jalan tikus, lalu jalan gede," tandas Irma.
Tiga karya utama Tepat di ruang luas terdapat karya utama milik Tisna Sanjaya, Peter Robinson, dan Jonas Sestrakresna. Tiga karya tersebut merepresentasikan elemen spiritual berdoa, fisik bermain, dan mental berpikir. Karya Tisna Sanjaya berjudul Rumah Ibu (Imah Budaya) berupa instalasi dalam ruang 7x6 meter. Di dalamnya terdapat berbagai macam biji hasil bumi yang diwadahi tempayan. Sekeliling ruang terdapat 6 lukisan, 3 dari biji asli dan 3 lukisan dari biji sintetis. Setiap sisi dituliskan sejumlah doa dan harapan. Sementara itu, Sistem Sintaks karya Peter Robinson menggunakan kain felt yang ditata dalam ruang seluas 10x10 m. Robinson ingin mengubah relasi kuasa antara yang seni dan yang bukan. Ia mengajak pengunjung pameran terlibat dalam penciptaan karya seni sekaligus menjadi penentu yang seni.
"to disturb the relationship to break down the hierarchy between the artist and the audience," terang Robinson di sela pameran. Robinson sebelumnya sempat meminta beberapa anak-anak untuk keluar dari area instalasi. Sebab, mereka bukannya melanjutkan instalasi kain felt seperti maksud Robinson, melainkan membongkar karya sebelumnya. Jonas Sestrakresna merespons bumi yang menurutnya kian asing. Sebab, eksploitasi alam atas nama pembangunan dan kesejahteraan bersama membuat manusia tak ubahnya seperti alien di tanah sendiri. Tidak kenal isi dan sifat alamiah bumi. Karyanya berupa instalasi menara bambu. Jonas juga menyajikan performance art berjudul Human is Alien saat pembukaan pameran (14/11).
"Ini arsitektur bisa jadi urban untuk bantaran kali dan di pantai. Kalau penampilan itu tentang Human is Alien. Jadi, kita itu alien" terang Jonas seusai pementasan dengan suara agak serak. Jakarta Biennale 2015 memamerkan karya 40 seniman Indonesia dan 30 seniman internasional. Pameran ini juga melibatkan 1 kurator internasional dan 7 kurator muda Indonesia, yakni Charles Esche, Anwar 'Jimpe' Rachman, Asep Topan, Benny Wicaksono, Irma Chantily, Putra Hidayatullah, dan Riksa Afiaty.(M-6)