Headline
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Masalah kesehatan mental dan obesitas berpengaruh terhadap kerja pelayanan.
Kota leutik camperenik
Najan leutik tapi resik
Ngaliwat Cadas Pangeran
Mmmh, Kota Sumedang
Kota mungil nan indah
Walau kecil namun bersih rapi
Melewati Cadas Pangeran
Mmm, Kota Sumedang
Lirik lagu bertajuk Sumedang karya musikus Doel Sumbang itu menjadi kebanggaan warga kota yang melegenda dengan tradisi mengolah kedelai menjadi tahu nan sedap itu. Sebagian warga Jakarta juga kota-kota lain bisa jadi hanya mengidentifikasi Kabupaten Sumedang dari papan-papan petunjuk saat melewati jalur selatan Jawa. Namun, kali ini mari menjelajah Sumedang, Jawa Barat, lebih dalam. Salah satu destinasi paling kekinian di tanah Sunda ini ialah Waduk Jatigede. Proyek yang masih sarat kontroversi itu sekarang menjadi salah satu lokasi piknik. Masyarakat lokal juga dari luar kota berbondong-bondong melihat penampakan wilayah di Kecamatan Jatigede seluas 9.366,3 hektare yang telah tergenangi air.
Panorama Jatigede bisa dinikmati di kawasan Cipaku, Cisema, ataupun Pasir Tugaran di Kecamatan Darmaraja. Pada pelancongan Rabu (13/4), saya memilih jalur Rancapurut, Ganeas, untuk tiba di Pasir Tugaran. Jalan kecil berkelok pun saya rasakan, tapi kemudian terbayarkan dengan pemandangan menakjubkan yang kemudian menyapa mata. Sumedang yang agraris dengan persawahan, kebun, ataupun hutan, kini punya panorama lain, danau buatan raksasa yang telah terisi air di beberapa wilayahnya. “Kayak mimpi, perasaan masih ingat tuh disebelah situ sawah, makam, dan rumah,” kata Rodianah, penjual makanan dari penduduk asli Jatigede.
Memancing ikan lokal
Waduk yang kabarnya kedua terbesar se-Asia Tenggara itu kini memang sudah dibuka untuk wisata. Jarak tempuh menuju Jatigede dari pusat Kota Sumedang sekitar 40 km, yang bisa ditempuh 1,5 jam menggunakan sepeda motor atau mobil dengan medan yang tak terlampau mulus. Muncul dari arah atas, saya berbarengan dengan orang-orang yang akan memancing.
Beberapa rakit bambu dengan tempat duduk dan tenda ini memang disewakan untuk para pemancing dengan harga Rp5.000 saja sepanjang hari. Tak hanya itu, ada pula beberapa perahu yang siap mengarungi waduk ke arah tengah dengan tarif Rp10 ribu.
“Mancing selalu ramai enggak hanya weekend. Biasanya mereka bisa sampai malam mancing di sini,” kata Ajat, pemilik usaha rakit. Jika beruntung, pun gigih menunggui kail, pemancing akan mengangkat ikan nilem, nila, patin, tawes, mas, beureum panon, kancra, baung, tambakan, hingga udang galah di sini.
Gunung kunci
Kegiatan eksplorasi Sumedang kemudian saya lanjutkan ke Taman Hutan Raya (Tahura) Gunung Kunci yang dikenal dengan legenda keangkerannya. Namun, bukit ini sebenarnya berada tak jauh dari pusat kota dan sarat sejarah. “Disebut angker sebab tempat ini merupakan benteng pertahanan Belanda yang dibuat pada 1914 hingga 1917 pada masa Perang Dunia 1. Benteng ini untuk bertahan dari Jepang yang saat itu telah masuk Indonesia,” kata Hendi S Gumilar, Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Tahura Gunung Kunci.
Pertama, saya memasukinya pada sisi bukit yang di dalamnya terdapat lorong panjang. Awal saya melihat beberapa ruangan agak pendek. Konon, di situlah orang-orang Belanda beristirahat. Saat memasuki bagian dalam, saya terpaksa menyalakan senter pada ponsel untuk menerangi pijakan kaki karena terdapat beberapa genangan air. Beberapa saat kemudian saya harus menaiki tangga dan terlihat beberapa ruangan dengan dinding yang telah hancur.
Setelah lama menyusuri, saya sudah berada di atas bukit tempat masuk tadi. Dari situ terlihat pemandangan di bawah yang masih asri. Namun, tetap harus hati-hati karena licin dan basah. Sebagai bangunan yang dibuat puluhan tahun lalu itu, rumor mengenai keangkeran itu tentu tersebar dengan cepat apalagi memang benteng ini memiliki lorong dan bungker yang gelap dan lembap.
Bahkan, tempat itu sering dijadikan lokasi syuting program uji nyali stasiun televisi swasta, kegiatan mengetes keberanian seseorang di tengah lokasi yang dianggap mistis. Namun, sebenarnya kondisi itu berbalik jika dibandingkan dengan pendapat masyakakat Sumedang sendiri bahwa tempat itu tidak begitu angker. Mereka mengunjunginya buat berwisata di arena bermain anak-anak ataupun di area outbond.
Makam Cut Nyak Dien
Jangan lupakan destinasi ini jika ke Sumedang! Ya, makam Cut Nyak Dhien yang berada di kompleks pemakaman Gunung Puyuh, tak jauh pula dari pusat pemerintahan Sumedang. Jaraknya sekitar 1 km saja dari Gunung Kunci. Bukan cuma dihormati masyarakat lokal, lokasi ini juga kerap dikunjungi warga Aceh yang menghaturkan doa buat pahlawan nasional perempuan yang di masa tuanya hingga berpulang dibuang ke Sumedang oleh penjajah Belanda. “Dulu Cut Nyak Dhien dibuang dengan kondisi sudah tidak melihat,” kata Dadang, juru kunci di kompleks makam Cut Nyak Dhien.
Di belakang makamnya terdapat musala yang menyerupai bangunan adat Aceh yang khas. Cut Nyak Dhien yang meninggal pada 6 November 1908 ini disemayamkan di kompleks permakaman keluarga Siti Khodijah, keluarga yang merawatnya sejak berada di Sumedang. Makam ini dipugar pada 1987. Monumen peringatan dibangun di dekat pintu masuk, yang ditandatangani Gubernur Aceh Ibrahim Hasan. Makam Cut Nyak Dhien dikelilingi pagar besi yang ditanam bersama beton dengan luas 1.500 m2. Pada batu nisan tertulis riwayat hidupnya dengan tulisan bahasa Arab. Aada pula Surah At-Taubah dan Al-Fajr, serta hikayat cerita Aceh. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved