Harmonisasi Tari Soya-Soya dan Cakalele

(Abdillah M Marzuqi/M-2)
13/11/2016 05:00
Harmonisasi Tari Soya-Soya dan Cakalele
(MI/ABDILLAH M MARZUQI)

DUA perempuan masuk dari depan panggung, dua arah, sisi kanan dan kiri. Dua berurutan dari kanan belakang. Satu maju dari belakang. Dalam balutan kostum berwarna hijau, mereka mengambil posisi acak. Bergerak sedikit, seolah menikmati musik. Padahal, kala itu belum ada suara pengiring apa pun. Suasana masih hening. Seolah mereka punya musik tersendiri dalam kepala mereka.

Musik-musik dalam diri itu begitu saja menggerakkan tubuh, tanpa harus mengeluarkan wujud yang bisa ditangkap indra telingga. Beberapa saat terpatok dalam ritme goyang tubuh, muncullah suara musik. Musik pengiring terdengar. Hanya muncul dari mulut, tidak ada alat penghasil bunyi selain tubuh. "La la la lai," begitu salah satu melodi indah yang dipadu dengan bunyian mulut lain.

Itulah sepenggal gerak pembuka dari Tari Balabala yang ditampilkan Ekosdance Company dengan koreografer Eko Supriyanto. Tarian itu dipentaskan pada 5-6 November 2016 sebagai penutup dari rangkaian Salihara International Performing-arts Festival (SIP Fest) 2016. 'Lima penari putri dari Jailolo, Maluku Utara, menyumbangkan suara mereka untuk tempat terpencil yang berada nun jauh di timur Indonesia. Pelan, gerakan berirama yang menyiratkan kekuatan. Bukan melalui protes atau oposisi, melainkan lewat pengukiran ruang', begitu yang tertulis dalam sinopsis tari.

Ruang yang dimaksud ialah ruang bagi individu dalam masyarakat. Sebuah ruang untuk mengarahkan tradisi yang harus dijaga. Sebuah ruang dari potensi dan kreasi yang dipegang perannya oleh perempuan dari daerah terpencil di Indonesia. Melalui Tari Balabala, Eko Supriyanto dan lima penari membongkar irama dan bentuk tarian perang Cakalele dan Soya-Soya yang biasanya dilakukan laki-laki. Hierarki dalam budaya dan kesenjangan peran antara lelaki dan perempuan.

Dua itulah yang ditulis ulang dengan tarian yang kuat dan bernuansa oleh perempuan-perempuan muda. Didasarkan pada sembilan aliran filosofi pencak silat dan peran perempuan di Indonesia, Balabala ialah suara baru yang kuat di tari kontemporer karya Eko Supriyanto.

Menguatkan khazanah
Melalui Balabala, Eko ingin menggali kekayaan tari dari alam Jailolo yang dari waktu ke waktu generasinya rentan terputus. Tarian itu juga merujuk pada ide tentang menguatkan khazanah dari tari tradisi Nusantara. Menjadikannya tarian yang tetap dinamis dan terus beradaptasi dengan perkembangan tari-tari kontemporer lainnya di seluruh dunia.
Balabala yang juga memiliki arti perempuan yang bangkit berasal dari bahasa suku Sahu yang merupakan suku tertua di Kepulauan Halmahera Barat.

Kelima perempuan belia yang sebelumnya tidak memiliki latar belakang seniman tari dipilih Eko untuk membawakan tari khas kepulauan Maluku Utara, sebagai representasi atas perempuan Indonesia Timur dan alamnya yang identik dengan kemaritiman. Eko Supriyanto mendasari karya Balabala dengan berangkat dari kepeduliannya terhadap tradisi tari di wilayah Halmahera Barat yang sebelumnya banyak menciptakan tarian perang yang banyak didominasi kaum lelaki.

Balabala dipentaskan selama 60 menit. Koreografi dan tekniknya menampilkan kelima remaja perempuan asal Halmahera Barat. Tanpa memiliki latar belakang tari, kelima perempuan itu dilatih secara telaten oleh Eko Supriyanto hingga karyanya final pada September 2015 lalu. Selama satu setengah tahun, remaja putri berusia 17-18 tahun itu berlatih.
Kosa gerak Balabala merupakan dekonstruksi atas tarian Soya-Soya, Cakalele, dan Baronggeng.

Ketiga tarian itu merupakan bentuk tarian yang hierarkis dalam budaya lekat akan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Melalui Balabala, Eko berupaya mengangkat status dan peran perempuan khususnya dalam seni tari. Yang menarik, tarian Balabala ialah yang pertama (world premiere). Komunitas Salihara dengan dukungan Kedutaan Besar Denmark menjadi tempat perdana bagi pentas itu.

Balabala merupakan karya kedua Eko Supriyanto setelah sebelumnya sukses membawa Tari Cry Jailolo yang telah dipentaskan di berbagai belahan dunia. Karya itu akan ditampilkan di enam negara yaitu Australia, Jepang, Belgia, Jerman, Belanda, dan Taiwan pada 2017. Eko Supriyanto ialah koreografer Indonesia yang telah meraih pengakuan internasional. Eko pernah menari untuk pentas Drowned World Tour Madonna (2001) dan konsultan pada musikal The Lion King karya Juite Taymor (2000).

Eko kini membentuk suatu wadah untuk menampung ide-ide kretifnya. Ia berfokus pada rekontekstual tarian tradisi menjadi tarian kontemporer. Salah satunya ialah Cry Jailolo (2014-2015). Karya itu melibatkan tujuh pemuda asli dari Jailolo, Maluku Utara. Tarian itu telah dipentaskan pada festival seni pertunjukan kontemporer di Australia, Eropa, dan Asia. Selain itu, masih ada karya tunggalnya berjudul Salt. Cry Jailolo, Salt, dan Balabala merupakan serial seni pertunjukan berbasis riset Trilogy of Jailolo (2017-2018).



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya